Rangkaian acara #SEAYouthRiverTour 2013 akhirnya berakhir. Dimulai sejak 22 Maret 2013 pada Hari Air Internasional dalam bentuk launching Kontes Esai Foto “Sungaiku dari Hulu ke Hilir”, rangkaian acara disambung dengan jurnalis trip pada tanggal 22 Mei 2013 bersamaan dengan Hari Keanekaragaman Hayati 2013. Puncak acara dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2013 diisi dengan berbagai acara, dengan 2 pre-event yaitu pada tanggal 29 Juni 2013 dalam bentuk Aksi Mulung di Sungai Ciliwung (392kg sampah terangkut dalam 2 jam!) dan Flash Mob Dance pada tanggal 30 Juni 2013 pagi hari saat Car Free Day Bogor.
Rangkaian acara #SEAYouthRiverTour 2013 akhirnya berakhir. Dimulai sejak 22 Maret 2013 pada Hari Air Internasional dalam bentuk launching Kontes Esai Foto “Sungaiku dari Hulu ke Hilir”, rangkaian acara disambung dengan jurnalis trip pada tanggal 22 Mei 2013 bersamaan dengan Hari Keanekaragaman Hayati 2013. Puncak acara dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2013 diisi dengan berbagai acara, dengan 2 pre-event yaitu pada tanggal 29 Juni 2013 dalam bentuk Aksi Mulung di Sungai Ciliwung (392kg sampah terangkut dalam 2 jam!) dan Flash Mob Dance pada tanggal 30 Juni 2013 pagi hari saat Car Free Day Bogor.
Delapan belas karya diterima oleh panitia Kontes Esai Foto “Sungaiku dari Hulu ke Hilir”. Rata-rata pengirim materi berasal dari Jakarta, Depok dan Bogor. Ada 1 karya yang berasal dari Suku Anak Dalam menceritakan tentang sungainya yang tercemar bahan kimia perkebunan sawit di Jambi. Dari 18 karya tersebut, terpilih 7 karya yang dipamerkan pada acara puncak South East Asia Youth River Tour: from Indonesia for Ecological Child’s Rights (#SEAYouthRiverTour) akhir Juni kemarin. Karya-karya tersebut merupakan karya dari Penangguk Sunting (Jambi), Nur Supriatna (Jakarta), Nurul Anisa (Bogor), Ratih Mas Absari (Bogor), Valentierrano (Bogor), Muhamad Rezka Maroghi Yoshi (Bogor) dan Intan (Bogor). Ke-7 fotografer tersebut selanjutnya akan mendapatkan hadiah berupa Coaching Clinic dari fotografer profesional di wilayah Gunung Salak di Bulan Agustus 2013.
Jurnalis trip yang dilaksanakan selanjutnya mengajak para jurnalis (8 orang dari RRI Bogor, SCTV, TVone, DAAI TV, Kompas TV, dsb) untuk melihat kondisi lingkungan di wilayah hulu DAS Cisadane, khususnya di bagian Timur yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Para jurnalis meliput pembangunan yang sedang terjadi di sana, yang memberi dampak pada lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat, terutama dampaknya pada anak-anak dan pemuda. (liputan berita: http://rribogor.co/component/k2/item/1008-selamatkan-daerah-aliran-sungai-dari-kerusakan). Kegiatan ini dimulai dengan melakukan observasi sosial di 3 kampung di wilayah hulu DAS Cisadane, kemudian dilanjutkan dengan sarasehan dengan narasumber Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bapak Hendrayanto dan Norcahyo Waskito, seorang psikolog serta Mardha Tillah selaku perwakilan dari Rimbawan Muda Indonesia. Sarasehan ini dimoderatori oleh Rina Kusuma dari Yayasan KEHATI. Mardha Tillah (Tilla) mengawali pemaparannya tentang urgensi dilibatkannya anak dan pemuda dalam pengelolaan lingkungan, khususnya sungai. Tilla mengatakan bahwa pelibatan anak dan pemuda sangat diperlukan karena mereka memiliki kebutuhan yang lain dari orang dewasa, dan anak-anak ini memiliki energi yang besar yang menjadi kekuatan kita untuk menyadarkan lebih banyak pihak akan pentingnya kepedulian lingkungan.
Sementara itu, Pak Hendrayanto menjelaskan perspektifnya bahwa, “Tanpa program untuk mengatasi masalah mendasar tentang penguasaan dan penggunaan lahan (penyelesaian konflik) dan perencanaan parsial pembangunan wilayah berdasarkan pemerintahan otonom (integrasi rencana pembangunan wilayah dalam satu DAS lintas pemerintahan), maka kondisi dan fungsi DAS akan sulit dipulihkan. Jadi dibutuhkan perencanaan bersama yang juga bottom-up.
Norcahyo menyampaikan betapa manusia terbentuk sesuai dengan keadaan lingkungannya. “Sebetulnya apapun yang terjadi di lingkungan sekitar akan mempengaruhi kondisi psikologis dan kalau berlangsung dalam jangka waktu lama dan konsisten terjadi, maka bisa mempengaruhi tumbuh kembangsesorang. Jadi kalau masyarakat yang selama ini hidup dalam kondisi lingkungan tertentu dan menjadikan kondisi itu sebagai bagian dari identitas dia (sense of place) maka ketika lingkungan tersebut rusak akan mempengaruhi keseimbangan “identitas” tersebut, timbul ketidaknyamanan psikologis, kebingungan akan nilai, dll,” ujar Cahyo, panggilan akrabnya.
#SEAYouthRiverTour merupakan bagian dari kampanye Our Rivers Our Life, kampanye regional Asia Tenggara yang mengangkat ecological child’s rights atau hak anak atas ekologi, dimana di dalamnya bukan terbatas hanya pada kesehatan lingkungan, namun juga keadaan sosial dan ekonomi yang tepat untuk mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Siapa yang tahu apa kebutuhan utama anak-anak muda itu kalau bukan harus kita tanyakan sendiri kepada mereka, dan memberi ruang pada mereka untuk berpartisipasi menyuarakan apa yang mereka anggap benar. Hal ini, salah satunya, bisa menjadi latihan bagi mereka untuk menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan, sosial, kesejahteraan dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, Norcahyo Waskito kembali kami undang untuk mengisitalkshowbersama moderator Chandra Kirana (board RMI yang juga communication specialist) serta jawara Betawi penyelamat Pesanggarahan H. Chaeruddin atau akrab disapa Babe Idin. Babe Idin menarik perhatian banyak pengunjung, khususnya anak muda saat menyampaikan motivasinya, strateginya serta berbagai filosofi lokal yang mendukung dia untuk akhirnya menjadi seperti sekarang, dimana beliau diberikan kepercayaan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengelola area seluas 180hektar di selatan Jakarta. Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan oleh anak-anak muda yang ingin tahu tentang pengelolaan sungai. Salah satu pertanyaannya misalnya, adalah “Siapa yang salah bila masih ada orang yang buang sampah sembarangan? Padahal saya sendiri tahu itu tidak baik tapi saya belum mampu untuk menghentikannya”. Babe Idin menjawab dengan lugas “Babe yang salah”. Sebenarnya beliau hendak menyatakan “stop the blaming game”. Biasanya kita saling tuduh saling menyalahkan. Dengan menyalahkan diri sendiri, berarti kita mengakui bahwa itu adalah tanggungjawab kita yang tidak kita jalankan, dan menjadi contoh bahwa tiap orang bisa berbuat sekecil apapun tanpa menunggu orang lain.
Di samping talkshow, acara juga diisi oleh berbagai kegiatan sepertipenampilan senidi panggung berupa musik dan tarian tradisional, serta seni pertunjukan berupapantomimyang menunjukkan penderitaan yang dialami anak-anak atas perubahan lingkungan yang ada. Juga diselenggarakancoaching clinicdaur ulang sampah di beberapa titik.Pemutaran filmtentang sungai juga dilakukan di salah satu tenda yang disulap menjadi studio. Terjadi diskusi mendalam juga pada tiap-tiap akhir sesi pemutaran film. Dari 4 judul film yang direncanakan tampil, akhirnya 8 film diputar karena antusiasme penonton yang rata-rata adalah anak muda.
Selain acara keria-an, 31 orang perwakilan dari sekolah (SMK Wikrama Bogor, MAN 2 Bogor, SMPN 13 Bogor, SMA Harapan Bangsa, SMAN 1 Cigombong, MTs Mazro’atusshibyan, SMAN 6 Bogor, SMA BBS Bogor), pemerintahan (Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor), Swasta (PT. Aneka Tambang, PT. Lido Sarana Prima, PDAM Tirta Kahuripan), serta NGO (TERANGI, Greenna, RMI) dan komunitas (Tabur Mangrove dari Tangerang – Hilir Cisadane, Kelompok Tani Barokatun Nabaat dari Kampung Lengkong,- Hulu Cisadane) berdiskusi serius dalamfocus group discussion (FGD). FGD ini difasilitasi oleh Ery Damayanthi, dan co-fasilitator Sarie Wahyuni, keduanya adalah pegiat lingkungan yang bergelut di berbagai organisasi dan komunitas lingkungan, salah satunya Telapak. Hasil dari FGD tersebut berupa rencana tindak lanjut dari masing-masing kelompok (swasta, pemerintahan, anak muda/sekolah, komunitas dan NGO).
Acara ditutup sekali lagi denganflash mob danceyang sebelumnya sudah ditampilkan di pagi hari. Seluruh rangkaian acara ini terwujud berkat dukungan tulus berbagai lembaga yaitu Rimbawan Muda Indonesia (dan para personelnya yang berdedikasi), Terre des Hommes Germany, Yayasan KEHATI, Transformasi Hijau (Jakarta), EOS Consultants, BPDAS Citarum Ciliwung, Green Camp (Jakarta), South to South Film Festival, Greenna (Bogor), WALHI (Eknas-Jakarta), Saung Tinta, Working Group Biodiversity (LESSAN-Jogja, Sokola-Jambi, P3MN-Medan, LSPL-Medan) mitra Terre des Hommes Germany, HuMA, volunteer perorangan seperti Sarie Wahyuni, Ery Damayanthi dan Luluk Uliyah serta 55 volunteer muda dari Jakarta dan Bogor yang energinya selalu penuh untuk berkontribusi pada upaya pelestarian daerah aliran sungai.
by : Mardha Tillah
Delapan belas karya diterima oleh panitia Kontes Esai Foto “Sungaiku dari Hulu ke Hilir”. Rata-rata pengirim materi berasal dari Jakarta, Depok dan Bogor. Ada 1 karya yang berasal dari Suku Anak Dalam menceritakan tentang sungainya yang tercemar bahan kimia perkebunan sawit di Jambi. Dari 18 karya tersebut, terpilih 7 karya yang dipamerkan pada acara puncak South East Asia Youth River Tour: from Indonesia for Ecological Child’s Rights (#SEAYouthRiverTour) akhir Juni kemarin. Karya-karya tersebut merupakan karya dari Penangguk Sunting (Jambi), Nur Supriatna (Jakarta), Nurul Anisa (Bogor), Ratih Mas Absari (Bogor), Valentierrano (Bogor), Muhamad Rezka Maroghi Yoshi (Bogor) dan Intan (Bogor). Ke-7 fotografer tersebut selanjutnya akan mendapatkan hadiah berupa Coaching Clinic dari fotografer profesional di wilayah Gunung Salak di Bulan Agustus 2013.
Jurnalis trip yang dilaksanakan selanjutnya mengajak para jurnalis (8 orang dari RRI Bogor, SCTV, TVone, DAAI TV, Kompas TV, dsb) untuk melihat kondisi lingkungan di wilayah hulu DAS Cisadane, khususnya di bagian Timur yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Para jurnalis meliput pembangunan yang sedang terjadi di sana, yang memberi dampak pada lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat, terutama dampaknya pada anak-anak dan pemuda. (liputan berita: http://rribogor.co/component/k2/item/1008-selamatkan-daerah-aliran-sungai-dari-kerusakan). Kegiatan ini dimulai dengan melakukan observasi sosial di 3 kampung di wilayah hulu DAS Cisadane, kemudian dilanjutkan dengan sarasehan dengan narasumber Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bapak Hendrayanto dan Norcahyo Waskito, seorang psikolog serta Mardha Tillah selaku perwakilan dari Rimbawan Muda Indonesia. Sarasehan ini dimoderatori oleh Rina Kusuma dari Yayasan KEHATI. Mardha Tillah (Tilla) mengawali pemaparannya tentang urgensi dilibatkannya anak dan pemuda dalam pengelolaan lingkungan, khususnya sungai. Tilla mengatakan bahwa pelibatan anak dan pemuda sangat diperlukan karena mereka memiliki kebutuhan yang lain dari orang dewasa, dan anak-anak ini memiliki energi yang besar yang menjadi kekuatan kita untuk menyadarkan lebih banyak pihak akan pentingnya kepedulian lingkungan.
Sementara itu, Pak Hendrayanto menjelaskan perspektifnya bahwa, “Tanpa program untuk mengatasi masalah mendasar tentang penguasaan dan penggunaan lahan (penyelesaian konflik) dan perencanaan parsial pembangunan wilayah berdasarkan pemerintahan otonom (integrasi rencana pembangunan wilayah dalam satu DAS lintas pemerintahan), maka kondisi dan fungsi DAS akan sulit dipulihkan. Jadi dibutuhkan perencanaan bersama yang juga bottom-up.
Norcahyo menyampaikan betapa manusia terbentuk sesuai dengan keadaan lingkungannya. “Sebetulnya apapun yang terjadi di lingkungan sekitar akan mempengaruhi kondisi psikologis dan kalau berlangsung dalam jangka waktu lama dan konsisten terjadi, maka bisa mempengaruhi tumbuh kembangsesorang. Jadi kalau masyarakat yang selama ini hidup dalam kondisi lingkungan tertentu dan menjadikan kondisi itu sebagai bagian dari identitas dia (sense of place) maka ketika lingkungan tersebut rusak akan mempengaruhi keseimbangan “identitas” tersebut, timbul ketidaknyamanan psikologis, kebingungan akan nilai, dll,” ujar Cahyo, panggilan akrabnya.
#SEAYouthRiverTour merupakan bagian dari kampanye Our Rivers Our Life, kampanye regional Asia Tenggara yang mengangkat ecological child’s rights atau hak anak atas ekologi, dimana di dalamnya bukan terbatas hanya pada kesehatan lingkungan, namun juga keadaan sosial dan ekonomi yang tepat untuk mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Siapa yang tahu apa kebutuhan utama anak-anak muda itu kalau bukan harus kita tanyakan sendiri kepada mereka, dan memberi ruang pada mereka untuk berpartisipasi menyuarakan apa yang mereka anggap benar. Hal ini, salah satunya, bisa menjadi latihan bagi mereka untuk menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan, sosial, kesejahteraan dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, Norcahyo Waskito kembali kami undang untuk mengisitalkshowbersama moderator Chandra Kirana (board RMI yang juga communication specialist) serta jawara Betawi penyelamat Pesanggarahan H. Chaeruddin atau akrab disapa Babe Idin. Babe Idin menarik perhatian banyak pengunjung, khususnya anak muda saat menyampaikan motivasinya, strateginya serta berbagai filosofi lokal yang mendukung dia untuk akhirnya menjadi seperti sekarang, dimana beliau diberikan kepercayaan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengelola area seluas 180hektar di selatan Jakarta. Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan oleh anak-anak muda yang ingin tahu tentang pengelolaan sungai. Salah satu pertanyaannya misalnya, adalah “Siapa yang salah bila masih ada orang yang buang sampah sembarangan? Padahal saya sendiri tahu itu tidak baik tapi saya belum mampu untuk menghentikannya”. Babe Idin menjawab dengan lugas “Babe yang salah”. Sebenarnya beliau hendak menyatakan “stop the blaming game”. Biasanya kita saling tuduh saling menyalahkan. Dengan menyalahkan diri sendiri, berarti kita mengakui bahwa itu adalah tanggungjawab kita yang tidak kita jalankan, dan menjadi contoh bahwa tiap orang bisa berbuat sekecil apapun tanpa menunggu orang lain.
Di samping talkshow, acara juga diisi oleh berbagai kegiatan sepertipenampilan senidi panggung berupa musik dan tarian tradisional, serta seni pertunjukan berupapantomimyang menunjukkan penderitaan yang dialami anak-anak atas perubahan lingkungan yang ada. Juga diselenggarakancoaching clinicdaur ulang sampah di beberapa titik.Pemutaran filmtentang sungai juga dilakukan di salah satu tenda yang disulap menjadi studio. Terjadi diskusi mendalam juga pada tiap-tiap akhir sesi pemutaran film. Dari 4 judul film yang direncanakan tampil, akhirnya 8 film diputar karena antusiasme penonton yang rata-rata adalah anak muda.
Selain acara keria-an, 31 orang perwakilan dari sekolah (SMK Wikrama Bogor, MAN 2 Bogor, SMPN 13 Bogor, SMA Harapan Bangsa, SMAN 1 Cigombong, MTs Mazro’atusshibyan, SMAN 6 Bogor, SMA BBS Bogor), pemerintahan (Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor), Swasta (PT. Aneka Tambang, PT. Lido Sarana Prima, PDAM Tirta Kahuripan), serta NGO (TERANGI, Greenna, RMI) dan komunitas (Tabur Mangrove dari Tangerang – Hilir Cisadane, Kelompok Tani Barokatun Nabaat dari Kampung Lengkong,- Hulu Cisadane) berdiskusi serius dalamfocus group discussion (FGD). FGD ini difasilitasi oleh Ery Damayanthi, dan co-fasilitator Sarie Wahyuni, keduanya adalah pegiat lingkungan yang bergelut di berbagai organisasi dan komunitas lingkungan, salah satunya Telapak. Hasil dari FGD tersebut berupa rencana tindak lanjut dari masing-masing kelompok (swasta, pemerintahan, anak muda/sekolah, komunitas dan NGO).
Acara ditutup sekali lagi denganflash mob danceyang sebelumnya sudah ditampilkan di pagi hari. Seluruh rangkaian acara ini terwujud berkat dukungan tulus berbagai lembaga yaitu Rimbawan Muda Indonesia (dan para personelnya yang berdedikasi), Terre des Hommes Germany, Yayasan KEHATI, Transformasi Hijau (Jakarta), EOS Consultants, BPDAS Citarum Ciliwung, Green Camp (Jakarta), South to South Film Festival, Greenna (Bogor), WALHI (Eknas-Jakarta), Saung Tinta, Working Group Biodiversity (LESSAN-Jogja, Sokola-Jambi, P3MN-Medan, LSPL-Medan) mitra Terre des Hommes Germany, HuMA, volunteer perorangan seperti Sarie Wahyuni, Ery Damayanthi dan Luluk Uliyah serta 55 volunteer muda dari Jakarta dan Bogor yang energinya selalu penuh untuk berkontribusi pada upaya pelestarian daerah aliran sungai.
by : Mardha Tillah