“Proses pemetaan ini adalah awal dari perjuangan
menuju pengakuan hak kami selaku masyarakat adat”
(Jaro Wahid, Kepala Desa Jagaraksa)
Rimbun riuh pepohonan tegak berdiri, dikelilingi bukit luas nan hijau. Disela-sela hamparan kebun dan sawah nampak rumah berderet, air jernih mengalir begitu deras sebagai sumber kehidupan. Kicauan burung bersahutan, sesekali ayam jantan berkokok. Geliat pagi yang mulai sibuk dengan ragam aktifitas warga, baik di sawah maupun kebun. Sapa warga begitu hangat, satu sama lain saling bersapa, wajah sumringah penuh keceriaan. Demikian suasana pagi di sebuah desa di kaki Gunung Halimun Salak, tepatnya di Kasepuhan Karang, Banten.
“Proses pemetaan ini adalah awal dari perjuangan
menuju pengakuan hak kami selaku masyarakat adat”
(Jaro Wahid, Kepala Desa Jagaraksa)
Rimbun riuh pepohonan tegak berdiri, dikelilingi bukit luas nan hijau. Disela-sela hamparan kebun dan sawah nampak rumah berderet, air jernih mengalir begitu deras sebagai sumber kehidupan. Kicauan burung bersahutan, sesekali ayam jantan berkokok. Geliat pagi yang mulai sibuk dengan ragam aktifitas warga, baik di sawah maupun kebun. Sapa warga begitu hangat, satu sama lain saling bersapa, wajah sumringah penuh keceriaan. Demikian suasana pagi di sebuah desa di kaki Gunung Halimun Salak, tepatnya di Kasepuhan Karang, Banten.
Kasepuhan Adat Karang secara administartif masuk dalamwilayah Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak,Propinsi Banten. Saat ini warga Desa Jagaraksa yang merupakan bagian dari pengikut Kasepuhan Karang berjumlah 738 KK (Kepala Keluarga)yaitu ± 2.387 jiwa. Tersebar diempat kampung yaitu Kampung Karang, Kampung Cibangkala, Kampung Cilunglum dan Kampung Cikadu dengan luas desa sekitar 578,74 Ha (sesuai dengan dokumen Pemekaran Desa). Seperti halnya masyarakat adat lainnya di Kabupaten Lebak, penghidupan warga sangat bergantung pada sumber daya alam. Sebagian besar warga memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Produk unggulan dikasepuhan ini selain padi, ada pula tanaman kayu dan buah seperti Karet, Sengon, Manii, Durian, Dukuh dan Manggis.
Masalah yang muncul saat ini adalah konflik Tatabatas Ruang Kelola antara Masyarakat dengan Departemen Kehutanan dalam hal ini Pengelola Kawasan Konservasi Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Klaim masyarakat didasarkan pada fakta bahwa areal yang dikelola adalah wilayah adat yang telah dikelola secara turun temurun sejak puluhan bahkan ratusan tahun jauh sebelum Indonesia Merdeka. Fakta dilapangan saat ini bahwa areal garapan telah berubah fungsi menjadi kebun wanatani (Agroforestry), hamparan kebun dengan aneka jenis kayu campuran yang menyerupai hutan. Sedangkan klaim Taman Nasional didasarkan atas SK 175 tahun 2003 tentang Perluasan dan Perubahan fungsi hutan dari hutan produksi tetap dan terbatas menjadi Taman Nasional yang sebelumnya dikuasai oleh PERUM PERHUTANI. Selain konfliktata batas dengan TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak),warga di desa ini pun berkonflik dengan pihak Desa Karang.
Ketidakjelasan Tata batas ini melahirkan Inisiatif dari Kasepuhan dan Pemerintah Desa untuk bekerjasama dengan RMI melakukan proses belajar dan bekerja dalam menata ulang wilayah mereka. Pada tahun 2012, RMI mulai bekerja bersama masyarakat di Desa Jagaraksa melalui serangkaian kegiatan seperti Pendidikan Hukum Kritis, Pelatihan mengenal serta Memahami Pemetaan Partisipatif serta Pelatihan Teknis Pemetaan seperti Penggunaan Alat GPS hingga Penggambaran Peta. Saat ini proses yang sedang berjalan adalah masyarakat sedang memetakan wilayahnya secara partisipatif. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari kegiatan ini selain memperjelas serta mempertegas batas wilayah juga sebagai alat untuk melakukan Perencanaan Tata Ruang Desa, menyelesaikan konflik batas dengan desa tetatangga yaitu Desa Karang juga sebagai respon atas munculnya keputusan MK 35 dan terbitnya SK Bupati Lebak tentang Pengakuan Kelembagaan Adat Kasepuhan.
“Proses pemetaan ini adalah awal dari perjuangan menuju pengakuan hak kami selaku masyarakat adat” demikian ujar Jaro Wahid disela-sela Riungan Penggerak Masyarakat, sebagai Kepala Desa Pertama di Desa Jagaraksa. Beliau mempunyai visi terhadap tanah kelahiranya yaitu Terciptanya Negara yang berjaya atau JAya neGAra dengan RAKyat SentosA (JAGARAKSA).
Oleh: Eman Sulaeman
(Staf Divisi Pengorganisasian Masyarakat RMI)
Kasepuhan Adat Karang secara administartif masuk dalam wilayah Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak,Propinsi Banten. Saat ini warga Desa Jagaraksa yang merupakan bagian dari pengikut Kasepuhan Karang berjumlah 738 KK (Kepala Keluarga)yaitu ± 2.387 jiwa. Tersebar diempat kampung yaitu Kampung Karang, Kampung Cibangkala, Kampung Cilunglum dan Kampung Cikadu dengan luas desa sekitar 578,74 Ha (sesuai dengan dokumen Pemekaran Desa). Seperti halnya masyarakat adat lainnya di Kabupaten Lebak, penghidupan warga sangat bergantung pada sumber daya alam. Sebagian besar warga memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Produk unggulan dikasepuhan ini selain padi, ada pula tanaman kayu dan buah seperti Karet, Sengon, Manii, Durian, Dukuh dan Manggis.
Masalah yang muncul saat ini adalah konflik Tatabatas Ruang Kelola antara Masyarakat dengan Departemen Kehutanan dalam hal ini Pengelola Kawasan Konservasi Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Klaim masyarakat didasarkan pada fakta bahwa areal yang dikelola adalah wilayah adat yang telah dikelola secara turun temurun sejak puluhan bahkan ratusan tahun jauh sebelum Indonesia Merdeka. Fakta dilapangan saat ini bahwa areal garapan telah berubah fungsi menjadi kebun wanatani (Agroforestry), hamparan kebun dengan aneka jenis kayu campuran yang menyerupai hutan. Sedangkan klaim Taman Nasional didasarkan atas SK 175 tahun 2003 tentang Perluasan dan Perubahan fungsi hutan dari hutan produksi tetap dan terbatas menjadi Taman Nasional yang sebelumnya dikuasai oleh PERUM PERHUTANI. Selain konfliktata batas dengan TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak),warga di desa ini pun berkonflik dengan pihak Desa Karang.
Ketidakjelasan Tata batas ini melahirkan Inisiatif dari Kasepuhan dan Pemerintah Desa untuk bekerjasama dengan RMI melakukan proses belajar dan bekerja dalam menata ulang wilayah mereka. Pada tahun 2012, RMI mulai bekerja bersama masyarakat di Desa Jagaraksa melalui serangkaian kegiatan seperti Pendidikan Hukum Kritis, Pelatihan mengenal serta Memahami Pemetaan Partisipatif serta Pelatihan Teknis Pemetaan seperti Penggunaan Alat GPS hingga Penggambaran Peta. Saat ini proses yang sedang berjalan adalah masyarakat sedang memetakan wilayahnya secara partisipatif. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari kegiatan ini selain memperjelas serta mempertegas batas wilayah juga sebagai alat untuk melakukan Perencanaan Tata Ruang Desa, menyelesaikan konflik batas dengan desa tetatangga yaitu Desa Karang juga sebagai respon atas munculnya keputusan MK 35 dan terbitnya SK Bupati Lebak tentang Pengakuan Kelembagaan Adat Kasepuhan.
“Proses pemetaan ini adalah awal dari perjuangan menuju pengakuan hak kami selaku masyarakat adat” demikian ujar Jaro Wahid disela-sela Riungan Penggerak Masyarakat, sebagai Kepala Desa Pertama di Desa Jagaraksa. Beliau mempunyai visi terhadap tanah kelahiranya yaitu Terciptanya Negara yang berjaya atau JAya neGAra dengan RAKyat SentosA (JAGARAKSA).
Oleh: Eman Sulaeman
(Staf Divisi Pengorganisasian Masyarakat RMI)