v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
Normal
0
false
false
false
false
IN
X-NONE
X-NONE
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-language:EN-US;}
“Riset aksi merupakan sebuah metode penelitian partisipatori yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan praktis atau pengetahuan yang memecahkan persoalan sosial untuk terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Sehingga melalui riset aksi ini peneliti dan subjek penelitian secara bersama merumuskan permasalahan, teori, dan tindakan praktis (aksi)”. Demikian penjelasan Donny Danardono[1][1], membuka lokakarya ‘Riset Aksi Agraria: Riset Yang Mengubah’ pada tanggal 10 Desember 2013.
Lokakarya ini diadakan bertepatan dengan hari HAM Sedunia, dilaksanakan bekerjasama dengan Program Magister Lingkungan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata Semarang. Kegiatan ini sengaja dilakukan di kampus agar mahasiswa khususnya di wilayah Semarang mulai terbuka dengan isu konflik agraria dan upaya organisasi masyarakat sipil dalam menanganinya. Selain itu agar mahasiswa mendapat wacana lain tentang metode riset di luar riset konvensional yang selama ini digunakan oleh mahasiswa pada umumnya.
Berbicara mengenai isu konflik agraria, data KPA dan SPI bahwa selama masa kepemimpinan Presiden SBY (tahun 2004 – 2013) telah terjadi 987 konflik agraria, dengan areal konflik seluas 3.680.974,58 hektar, dan melibatkan 1.011.090 kepala keluarga. Pada tahun 2013 ini saja, tercatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar, dan melibatkan 139.874 kepala keluarga. Dari konflik tersebut tercatat 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 dianiaya serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Data ini begitu mencengangkan dan menyadarkan kita bahwa pelanggaran HAM makin marak terjadi di Indonesia.
Untuk itulah, 10 lembaga[2][2] mitra HuMa di Indonesia yang selama ini bersama-sama mengembangkan kapasitas PHR (Pendamping Hukum Rakyat) dalam mempromosikan pluralisme hukum dan resolusi konflik sumber daya alam, melakukan riset aksi di lokasi belajarnya masing-masing dan mencoba mendokumentasikannya. Proses yang dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap riset aksi 1 untuk mendokumentasikan konflik agraria berdasarkan pemahaman masyarakat dan mengidentifikasi strategi perlawanan yang dapat dilakukan masyarakat. Lalu tahap riset aksi 2 untuk melakukan pengorganisasian dan aksi sebagai solusi mengatasi konflik agraria yang dihadapi masyarakat.
Kasus yang diangkat sangat beragam, perlawanan masyarakat (asli, adat, pendatang) dengan pihak pemerintah (Taman Nasional, BKSDA) maupun pihak perusahaan (kelapa sawit, tebu, pasir besi, peternakan kuda). Walaupun kasus terjadi di lokasi yang berbeda namun memiliki sejarah konflik dan dampak pada masyarakat yang relatif serupa. Seperti misalnya masyarakat adat Kasepuhan Cirompang di Kabupaten Lebak – Banten yang sedang berjuang mendapatkan wilayah kelola yang masuk ke dalam kawasan konservasi taman nasional dengan upaya perjuangan masyarakat adat Ba’tan di Sulawesi Selatan untuk mendapatkan wilayah kelola yang masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan wisata alam. Demikian pula perlawanan masyarakat Desa Biru Maju di Kalimantan Tengah, suku asli anak rawa di Riau dan suku Melahui di Kalimantan Barat dalam menghadapi perusahaan kelapa sawit yang mengambil lahan adat/masyarakat untuk dijadikan lahan konsesi perusahaan. Upaya perlawanan melalui pemetaan partisipatif, penggalian kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dan advokasi hukum merupakan beberapa tindak aksi yang dilakukan bersama masyarakat.
Pembelajaran ketika melakukan riset aksi bahwa periset menjadi bagian dari masyarakat yang sedang memperjuangkan hak-haknya sehingga melalui proses riset aksi bukan hanya akan merubah masyarakat namun juga periset itu sendiri. Catatan lain bahwa ternyata tidak mudah untuk menuliskan situasi atau kejadian di lapangan kemudian mengemasnya dengan kalimat (pembahasaan) yang efektif dan mudah dipahami orang awam. Maka para periset mengusulkan untuk adanya pelatihan penulisan populer di waktu mendatang. Selain itu, kadangkala perencanaan riset aksi tidak semulus pelaksanaannya di lapangan, banyak aral yang menghalangi sehingga keluwesan periset ataupun community organizer di lapangan sangat diuji. Keluwesan dalam arti mampu mendayagunakan potensi, modal sosial dan situasi lapangan menjadi alat untuk resolusi konflik. Hal lainnya yang cukup penting sebagai pembelajaran ketika melakukan riset aksi ini yakni mendorong generasi muda (perempuan dan laki-laki) agar memahami dan mampu berjuang bersama dalam menghadapi konflik agraria yang terjadi.
By : Ratnasari
(Manajer pada Divisi Pengelolaan Pengetahuan RMI)