[Lebak, 30 September 2015] Warga Kasepuhan Banten Kidul menyatakan sepakat untuk memantapkan praktek kearifan lokal yang dinaungi dalam adat-budaya Kasepuhan Banten Kidul pada Minggu, 26 September 2015. Pernyataan ini dikeluarkan sebagai salah satu komitmen warga Kasepuhan Banten Kidul di wilayah Kabupaten Lebak menyongsong lahirnya Peraturan Daerah Kasepuhan yang saat ini masuk dalam program legislasi daerah (Prolegda) 2015 Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
“Riungan ini dilakukan bersamaan dengan SerenTaun (panen raya) Kasepuhan Cipta Gelar, dimana 9 Kaolotan (komunitas kasepuhan) berkumpul di sini. Seluruh perwakilan Kasepuhan ini bersepakat bahwa pupuhu Kasepuhan beserta incu putu siap memanfaatkan, mengelola dan menjaga sumberdaya alam di wewengkon (wilayah adat ) Kasepuhan sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku,” ujar Ketua Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI), Sukanta. SABAKI adalah organisasi masyarakat yang beranggotakan 67 Kasepuhan/Kaolotan yang tersebar di Kabupaten Lebak (Banten), Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat).
“Kegiatan ini merupakan konsolidasi masyarakat Kasepuhan yang diadakan dalam kerangka menuju lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak tentang Kasepuhan. Konsolidasi ini merupakan bentuk pengawalan bersama dalam perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan wilayah yang sesuai dengan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Pertemuan ini merupakan pertemuan kedua dalam rangka konsolidasi pupuhu Kasepuhan se-Banten Kidul. Pertemuan pertama diadakan tanggal 20-21 September 2015 yang berlokasi di Kasepuhan Citorek dan dihadiri oleh 10 pupuhu Kasepuhan di wilayah utara. Pertemuan hari ini dihadiri oleh 9 pupuhu Kasepuhan yang berlokasi di wilayah selatan,” papar Rojak Nurhawan, Manajer Pemberdayaan Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (RMI).
Rangkaian Riungan Kasepuhan ini juga dihadiri oleh Wakil Bupati Lebak dan anggota DPRD Kabupaten Lebak. Organisasi-organisasi lain yang turut mendukung kegiatan ini adalah Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Epistema Institute, Perkumpulan HuMA, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kemitraan, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Menurut catatan RMI yang belajar dan bekerja bersama masyarakat Kasepuhan sejak 1998, Kasepuhan merupakan salah satu masyarakat adat yang mendiami kawasan Halimun, selain Baduy, sejak abad ke 16. Namun begitu, sejak pembentukan Republik Indonesia hingga saat ini, Negara belum mengakui keberdaan Kasepuhan sebagai subjek hukum yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya alam. Wilayah adat yang sejak lama mereka kelola dinyatakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) pada tahun 1992 seluas 40.000 hektar, yang kemudian diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada tahun 2003 seluas 113.000 hektar. Terkait dengan absennya Negara untuk mengakui keberadaan Kasepuhan sebagai subjek hukum, DPRD Kabupaten Lebak menginisiasi Perda Kasepuhan yang direncanakan lahir tahun 2015 ini.
Masyarakat Kasepuhan memiliki aturan adat dalam pemanfaatan hutan yang telah berjalan secara turun temurun dalam ribuan tahun, seperti pembagian wilayah hutan yang boleh dimanfaatkan saat ini (leuweung bukaan/sampalan), wilayah hutan cadangan untuk kehidupan incu putunya kelak (leuweung titipan/awisan), hingga wilayah yang tidak bisa digarap sama sekali karena berfungsi untuk konservasi sumber air (leuweungkolot/geledegan/paniisan). Praktek ini masih berlangsung hingga sekarang, meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menjaga kelestarian hutan sesuai perintah adat. Perbaikan tata kelola inilah yang disepakati dalam riungan pupuhu Kasepuhan di dua lokasi ini, yakni komitmen menjaga, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam sesuai dengan aturan adat Kasepuhan menuju pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
Oleh: Mardha Tillah (Manajer Divisi Kampanye & Advokasi RMI)