[Lebak, 19 November 2015] Sesudah perjuangan panjang sejak 2006, akhirnya siang nanti Peraturan Daerah (Perda) tentang Kasepuhan akan disahkan pada rapat paripurna penetapan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Perda ini akan mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) Kasepuhan yang telah mendiami wilayah Kabupaten Lebak sejak abad ke 17. Perda yang diinisiasi oleh DPRD Kabupaten Lebak ini juga akan mengakui wilayah adat sebagai ruang kehidupan masyarakat Kasepuhan. Untuk pertama kalinya di Indonesia sebuah perda pengakuan MHA memiliki lampiran tentang wilayah adat.
Kasepuhan merupakan komunitas MHA selain Baduy yang berada di Kabupaten Lebak. Menurut catatan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) yang bekerja di wilayah Kasepuhan sejak 1998, terdapat 67 komunitas Kasepuhan yang mendiami wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Di Lebak sendiri tercatat 57 komunitas kasepuhan yang terdiri dari pupuhu kasepuhan, sesepuh kampung dan sesepuh rendangan/gurumulan yang akan mendapat manfaat dari lahirnya Perda Kasepuhan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak ini nanti.
Menurut penuturan tetua Kasepuhan, luas wilayah adat Kasepuhan mencapai 20 kali luas wilayah Baduy. Saat ini luas wilayah Kasepuhan yang sudah terpetakan melalui pemetaan partisipatif adalah 21.059,204 hektar. Dari luas wilayah tersebut, sebagian beririsan dengan hutan konservasi, yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), sebagian lain beririsan dengan hutan produksi dan fungsi-fungsi lainnya. Hasil dari pemetaan partisipatif yang dilakukan masyarakat menunjukkan bahwa 14.138,045 hektar, atau 67%, dari 8 kasepuhan di Kabupaten Lebak yang telah dipetakan beririsan dengan fungsi konservasi TNGHS. Kasepuhan-kasepuhan ini adalah Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Karang, Kasepuhan Sindang Agung, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Cibarani. Kasepuhan Ciptagelar-Sinarresmi-
“Kasepuhan telah lama menunggu lahirnya Perda yang mengakui dan melindungi keberadaan mereka oleh Negara. Karena adanya tumpang tindih fungsi sejak ditetapkannya TNGHS pada tahun 1992 dan diperluas pada tahun 2003, telah banyak kekerasan yang terjadi pada penduduk Kasepuhan yang telah mendiami wilayah hutan ini sejak ratusan tahun lalu. Terutama karena dilarangnya masyarakat Kasepuhan memanfaatkan hutan yang merupakan salah satu bagian inti dari budaya mereka akibat tidak sinkronnya aturan adat dengan aturan pemerintah,” ujar Nia Ramdhaniaty, Direktur Eksekutif RMI.
Sesuai mandat putusan MK 35/2012, pasca ditetapkannya Perda Kasepuhan, maka masyarkat Kasepuhan harus mendapatkan kembali hak atas hutannya yang berdiri di atas wilayah adat Kasepuhan. Langkah selanjutnya adalah penetapan wilayah hutan tersebut sebagai wilayah hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menuju kepastian hak masyarakat Kasepuhan. Pasca putusan MK 35/2012 yang memisahkan hutan adat dari status hutan Negara, belum ada hutan adat yang ditetapkan oleh KLHK. Hutan adat Kasepuhan dapat menjadi satu dari 5 hutan adat pertama yang ditetapkan oleh KLHK pasca putusan MK 35/2012.
Proses mendorong lahirnya Perda Kasepuhan diinisiasi oleh DPRD Kabupaten Lebak dengan dukungan dari beberapa organisasi seperti Satuan Adat Banten Kidul (SABAKI), RMI, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Epistema Institute, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Kontak Media :
Mardha Tillah Manajer Kampanye dan Advokasi (RMI) 081316367600
Catatan Editor:
– Informasi lebih lanjut tentang Putusan MK 35/2012http://www.