The Link to Papers and Proceeding on Land and Water Governance Workshop (silakan unduh di sini): SA Workshop Proceedings
Bulan Juni 2015 lalu, Mardha Tillah, Manajer Kampanye dan Advokasi Kebijakan RMI, diundang untuk mempresentasikan studi kasus dan papernya oleh panitia Coordinated Land and Water Governance Workshop di Pretoria, Afrika Selatan. Lokakarya ini diadakan oleh International Land Coalition (ILC), Global Water Partnership (GWP) dan International Water Management Institute (IWMI) untuk memperkuat konsep governansi air dan tanah yang terkoordinasi. Tanah dan air merupakan dua komponen utama untuk menghasilkan makanan. Tanah tanpa air, tidak mungkin dapat menumbuhkan tanaman untuk dimakan. Bila air saja yang dikelola tanpa memikirkan dimana bisa ditanam (artinya membutuhkan tanah), maka akan jadi omong kosong.
Pada workshop ini, para peserta yang juga sekaligus penyaji berjumlah sekitar 20 orang berasal dari beragam latar belakang. Beberapa orang merupakan bagian dari Pemerintah Afrika Selatan dan beberapa negara lain di Afrika, beberapa orang bekerja sebagai peneliti di universitas ataupun di organisasi penelitian lain, yang lain merupakan pejabat dari badan-badan PBB seperti FAO, juga dari organisasi independen internasional, sementara sebagian lainnya adalah orang-orang yang bekerja di tingkat tapak, yaitu NGO lokal dari Afrika, Amerika Latin dan Asia.
Pertemuan ini sangat menarik. Terlepas dari fakta bahwa seluruh peserta pada dasarnya setuju bahwa governansi urusan air dan tanah merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan, namun isi presentasi dan cara pandang hadirin secara umum menunjukkan fakta tata kelola air dan tanah yang tidak menyatu.
Seluruh peserta pada dasarnya terbagi menjadi 2 “kubu”–orang-orang yang bekerja di isu tanah (umumnya merupakan advokat reforma agraria) atau diistilahkan saat itu sebagai land-people, dan orang-orang yang bekerja di isu air (sebagian besar berlatar belakang keinsinyuran) yang disebut sebagai water-people. Latar belakang yang berbeda ini membuat perbedaan yang sangat terlihat yang dilakukan oleh kedua kelompok ini. Water people cenderung melakukan pendekatan teknis sementara land people lebih mengutamakan pendekatan sosial.
Pada hari pertama dan setengah hari pada hari kedua, dimana seluruh sesi lebih diperuntukkan bagi pembahasan konsep, kebijakan dan implementasi di tingkat nasional, regional hingga internasional, sangat terlihat bahwa bagi sebagian besar organisasi, kedua hal ini (urusan tanah dan air) menjadi dua hal yang terpisah. Bahkan ada kritik yang disampaikan kepada FAO dimana,”Kalau urusan air, silakan belok ke kanan. Kalau mau membicarakan urusan tanah, silakan belok ke kiri” ucap salah satu peserta menggambarkan denah di kantor pusat FAO di Roma. Perumpamaan itu menyimbolkan bahwa kita sendirilah yang menciptakan perbedaan ini.
Namun, hal menarik muncul pada setengah hari terakhir dimana hari tersebut diperuntukkan bagi cerita-cerita dari lapangan. Di tengah gambaran jelas adanya pemisahan antara governansi air dan governansi tanah oleh pemerintah maupun organisasi-organisasi internasional, hal-hal melegakan dipresentasikan oleh presenter yang memiliki latar belakang pemberdayaan masyarakat di tingkat tapak. Sangat terlihat bahwa pembedaan-pembedaan ini terjadi di tingkat atas, namun tidak demikian di lapangan. Beberapa organisasi mengangkat cerita pemberdayaan kelompok masyarakat, termasuk kepada perempuan dan anak muda, yang tanpa disibukkan dengan konsep yang melangit, sudah melakukan koordinasi governansi air dan tanah.
Robert, salah satu pembicara workshop yang sehari-hari bekerja di NGO yang mendampingi petani di Malawi berpendapat bahwa sebenarnya di tingkat bawah, petani sudah secara otomatis menggabungkan pengelolaan air dan tanah. “Jika seorang petani menyatakan bahwa tanahnya subur, itu artinya dia memiliki tanah yang mengandung air. Jadi, bagi petani, tanah dan air itu adalah menjadi hal yang satu,” ujarnya.
Bagi orang Indonesia pun demikian. Tanah dan air sejatinya adalah satu. Hal ini bisa dilihat dari istilah “Indonesia tanah airku” yang menunjukkan kesatuan cara pandang terhadap orang-orang Indonesia terhadap kedua urusan ini sejak dulu.
Mungkin memang tidak pernah ada pemisahan urusan air dan tanah kecuali di tingkat tertentu, yang sayangnya justru tingkatan tersebut memiliki dampak besar karena umumnya pemisahan ini berada pada tingkat kebijakan.
Sepertinya, siapapun yang terlibat di proses-proses pembuatan kebijakan harus menyisakan waktu untuk belajar ke lapangan.