22 Desember diperingati oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai Hari Ibu sejak sebelum Indonesia merdeka. Penentuan tanggal 22 Desember diputuskan pada Kongres Perempuan Indonesia ke-III tahun 1938 untuk memperingati semangat perjuangan perempuan. Kongres yang dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera ini pertama kali dilaksanakan tahun 1928 di Yogyakarta. Semangat Sumpah Pemuda yang digaungkan Oktober di tahun yang sama, menggugah para pemimpin perkumpulan kaum perempuan untuk bersatu dalam suatu wadah yang mandiri. Kemudian terbentuklah Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).
Sejarah perjuangan perempuan Indonesia memang bukan waktu yang singkat. Sejak tahun 1912, di Indonesia sudah terbentuk organisasi-organisasi wanita yang berkontribusi dalam upaya perjuangan kemerdekaan. Semangat juang tersebut semakin menguat melalui berbagai program PPPI untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Pada Kongres Perempuan Indonesia pertama, peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa juga menjadi pembahasan, termasuk peran perempuan dalam perbaikan gizi dan kesehatan ibu dan balita.
Kongres Perempuan ke-II tahun 1935, pemberantasan buta huruf menjadi perhatian utama gerakan perempuan. Kongres tersebut juga menetapkan fungsi utama perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih memiliki jiwa berkebangsaan. Namun sayang, secara perlahan tapi pasti, peringatan perjuangan perempuan menjadi lebih sempit dari makna awal. Tahun 1959, secara resmi Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu yang tertuang dalam Dekrit Presiden No. 316.
“Gerakan perempuan yang “diibukan” mengubah wajah dan nuansa pemahaman publik terhadap peran perempuan menjadi terbatas pada wilayah-wilayah domestik. Peringatan Hari Ibu pun hanya dimaknai sebagai “hadiah” untuk para ibu terbebas dari tugas domestik. Ibu tidak lagi dimaknai sebagai Ibu Bangsa, tapi Ibu Rumah Tangga,” ujar Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia, Mardha Tillah.
Perubahan makna tersebut mengecilkan peran perempuan dalam kehidupan. Padahal jika ditelaah, peran perempuan cukup besar dalam keberlangsungan hidup manusia. Perempuan di pedesaan, misalnya, memiliki peran yang sama besarnya dengan laki-laki dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun, perempuan di banyak wilayah di Indonesia seringkali diabaikan dalam penentuan kebijakan atas tanahnya.
Pengetahuan perempuan atas pengelolaan Sumber Daya Alam tidak dianggap sebagai pandangan yang cukup penting dalam pengambilan keputusan. Seringkali perempuan yang harus menanggung resiko atau dampak atas kelalaian pengelolaan SDA. Padahal, perempuan memiliki kemampuan dan perhatian yang cukup besar dalam keberlanjutan Sumber Daya Alam yang menjadi sumber penghidupannya. Berdasarkan kenyataan bahwa peran perempuan begitu besar, sepatutnya peringatan Hari Ibu tidak sesempit “Ibu Rumah Tangga”, tetapi juga perempuan sebagai Ibu Bumi, Ibu Bangsa.
***
Oleh Indri Guli – Pengelolaan Pengetahuan RMI