Green Camp Makekal 2017
Kesedihan dan kegembiraan bercampur-aduk ketika para peserta Green Camp Makekal 2017 dilepas untuk menempuh perjalanan pulang dari basecamp Sokola Institute di Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi, pada Rabu (30/8). Keduabelas peserta dari kalangan pelajar, mahasiswa, pemuda adat dan profesional ini pulang setelah sebelumnya berkemah dan belajar bersama Orang Rimba kelompok Makekal Hulu selama empat hari dan tiga malam.
Green Camp adalah kegiatan reguler RMI yang bertujuan untuk membangun kesadaran dan solidaritas generasi muda terkait hak atas lingkungan dan kelestariannya. Green Camp kali ini diselenggarakan di Sokola Rimba Makekal Hulu, Bukit Duabelas, Kabupaten Merangin, Jambi, atas kerjasama RMI dan Sokola Institute. Anak, Rimba, dan Sungai: Keselarasan Hidup dan Hak Anak atas Lingkungan menjadi tema yang diusung Green Camp Makekal 2017. Para pesertanya adalah perwakilan dari sembilan komunitas jejaring River Watch Group (RWG) dari wilayah Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Komunitas-komunitas tersebut adalah: Relawan4Life, Komunitas Sadar Lingkungan (Kosaling) SMAN 1 Cijeruk, Pemuda Adat Kasepuhan Karang dan Cirompang (Banten), Komunitas Depok Broadcaster (DBC), Komunitas Belajar Bersama Ceria (BBC), Grup Perubahan Sriwijaya (Grupertri), Komunitas Ciliwung Depok (KCD), Komunitas Lingkungan Daur Ulang (Lindalang), serta Komunitas Tali Bambu Ciwaluh (Bogor). Kegiatan ini juga menjadi bagian dari Our Rivers Our Life (OROL) Project yang didukung oleh Terre Des Hommes dan BMZ.
Belajar dalam Rimba
Selama berada di dalam rimba Bukit Duabelas, para peserta didampingi oleh para kader Komunitas Makekal Bersatu (KMB) dan para guru Sokola Rimba. Pada hari pertama, para pendamping membagikan dasar-dasar bertahan hidup dalam rimba seperti mempersiapkan tenda dan dapur, serta membuat api dan tungku untuk memasak. Aturan-aturan adat yang harus diperhatikan baik oleh ‘tamu’ maupun oleh Orang Rimba sendiri juga disinggung secara khusus pada malam harinya; yang sangat menarik adalah bagaimana Orang Rimba menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai benteng adat mereka sehingga interaksi dengan keduanya benar-benar diatur secara ketat melalui mekanisme sanksi adat.
Di hari kedua dalam kegiatan trekking atau jelajah hutan, para peserta menyelami secara langsung keintiman hubungan Orang Rimba dengan hutannya; bagaimana menangkap binatang buruan dengan jerat dan perangkap, bagaimana saling berkomunikasi dengan tanda-tanda yang dibuat dan ditinggalkan dalam rimba, serta berbagai jenis obat-obatan yang disediakan rimba bagi mereka. Jelajah hutan ini juga memperlihatkan bagaimana secara kultural Orang Rimba telah mengartikulasikan prinsip keberlanjutan lingkungan. Misalnya: untuk setiap peristiwa kelahiran anak ada dua jenis pohon yang harus dipilih orang tuanya untuk ditandai agar tidak diganggu apalagi ditebang manusia (bahkan dengan sekedar melukai kulit batangnya pun seseorang dapat terkena sanksi adat); kedua jenis pohon tersebut memang memiliki manfaat dan digunakan dalam proses kelahiran anak, yang satu membantu mempercepat mengerasnya ubun-ubun anak dan yang lainnya membantu melindungi tali pusar yang dikuburkan dari gangguan binatang-binatang rimba. Selain memanfaatkan, Orang Rimba juga melestarikan rimbanya. Malam harinya, pemaparan dari Aditya Dipta Anindita (Indit) dan Dodi Rokhdian (Dodi) selaku perwakilan Sokola Institute, membuka lebih luas cakrawala para peserta mengenai aspek kultural-politik dari identitas Orang Rimba dan perjuangan mempertahankan rimba sebagai ruang hidup mereka dan -nantinya- anak-anak keturunan mereka. Sesi ini juga secara khusus membahas mengenai bagaimana orang rimba selalu didefinisikan dan diobjektifikasi oleh pihak lain dalam hubungannya dengan rimba mereka sebagai ruang hidup. Objektifikasi terjadi baik dari sudut pandang romantis maupun modernis; Orang Rimba sangat jarang didengarkan suaranya, apa lagi diberi kesempatan untuk menuliskan sejarahnya sendiri (baca: menjadi subjek).
Pada hari ketiga para peserta bersama dengan para kader KMB dan para guru Sokola Rimba yang mendampingi, kembali menjelajahi hutan ke tiga aliran sungai yang dimanfaatkan Orang Rimba kelompok Makekal Hulu. Kali ini tujuannya adalah saling bertukar mengenai proses pembuatan perangkap ikan serta mengenai proses biomonitoring yang penting untuk mengidentifikasi perubahan kualitas ekosistem sungai-sungai yang menjadi sumber kehidupan Orang Rimba. Di malam harinya, selain mengevaluasi kegiatan hari itu, seluruh peserta dan penyelenggara saling bertukar kesan dan pesan sebelum Green Camp 2017 resmi ditutup. Pagi berikutnya, dibantu para kader KMB, para peserta membongkar tenda, membersihkan sampah, mengemasi bawaan masing-masing, lalu berjalan menuju titik penjemputan sebelum ‘diangkut’ ke desa SPG dengan truk dan melanjutkan perjalanan bermobil ke basecamp Sokola Institute di Bangko dan kemudian ke Jambi sore itu juga.
Kesan dan Tindak Lanjut
Setibanya di Jambi, para peserta mengungkapkan lebih jauh kesan mereka mengenai Green Camp Makekal 2017 ini. Bagi sebagian besar dari mereka, kegiatan ini menjadi pengalaman tak terlupakan. Meilinda Amin, koordinator Relawan4Life menyebutkan bagaimana pengetahuan demi pengetahuan ia peroleh selama kegiatan ini: “Walaupun secara penjadwalan terkesan longgar dan sangat santai, keseluruhan kegiatan sangat padat, dan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap saat”, ujarnya. “Mereka nggak ngebangunin kita, tau-tau udah ada kayu bakar, api udah nyala, tinggal numpangin nasi. Menyenangkan, banyak pengetahuan baru yang jadi bahan refleksi juga”, ungkap Muhammad Andi dari Komunitas Ciliwung Depok mengenai empat harinya di rimba. Berbeda dengan kedua rekannya, Engkos Kosasih, salah satu perwakilan dari Pemuda Adat Kasepuhan Karang, Banten, merasa perolehan dari kegiatan ini harus dapat ditindak-lanjuti di komunitas masing-masing; dari situ, para peserta menyepakati untuk masing-masing menghasilkan tulisan ataupun video sebagai tindak lanjut sekaligus refleksi dari Green Camp Makekal 2017. Harapannya, tulisan-tulisan tersebut dapat lebih menggaungkan kesadaran dan membangun solidaritas kaum muda terkait isu kelestarian lingkungan khususnya rimba dan sungai, serta tentu saja hak pemanfaatan masyarakat adat atas keduanya.
***
Penulis: Wahyubinatara Fernandez (Divisi Kampanye dan Advokasi RMI)