Jakarta– Puluhan perempuan Adat Kasepuhan Karang, Lebak Banten menampilkan ritual nutu lisung di depan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nubaya pada pembukaan Festival Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa), di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (6/9).
Demikian diungkapkan oleh Kepala Desa Jagaraksa, Jaro Wahid yang turut mendampingi para perempuan Adat dari desannya itu. Wahid menjelaskan bahwa nutu lisung adalah kegiatan menumbuk padi yang bisanya dilakukan oleh perempuan adat di Kasepuhan Karang. Jumlah orang yang menumbuk padi di lisung, harus berjumlah ganjil, mulai dari 3 orang, 5 orang, 7 orang dan 9 orang.
“Lisung nu jadi indung, nyiru nu jadi guru (lesung yang jadi ibu, tampah yang jadi guru) artinya, harus hormat kepada ibu dan guru,” terang Jaro Wahid.
Dia merasa senang dan bangga karena ini baru pertamakalinya perempuan dari Kasepuhan Karang diundang dan diminta menampilkan atraksi budaya nutu lisung di depan menteri. Apalagi PeSoNa merupakan event besar bersekala nasional. PeSoNa sendiri merupakan ajang pertemuan antar stakeholder(Kementerian/Lembaga, NGO/LSM, dunia usaha, Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial, Kelompok Tani/Masyarakat) yang bergerak di bidang Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan sekaligus untuk mempromosikan hasil kerja yang telah dicapai selama ini.
Jaro Wahid menambahkan lisung merupakan alat untuk memproses padi menjadi beras secara tradisional yang hingga kini masih digunakan masyarakat adat Kasepuhan Karang. Alat penumbuknya disebut halu yang juga terbuat dari kayu bulat sebesar lengan orang dewasa dengan panjang sekitar 130-170 cm. Ada empat jenis kayu yang biasa digunakan oleh masyarakat adat Kasepuhan untuk membuat lisung, yaitu sempur dan teureup (keduanya adalah kayu alam), dan dua lagi adalah kayu dari tanaman budidaya masyarakat yaitu nangka dan kupa.
Menurut salah satu anggota Baris Kolot (pengurus adat) Kasepuhan Karang yang juga hadir di acara PeSoNa, Adang Sabroni, di Kasepuhan Karang ada empat jenis lisung yaitu lisung gondang yang memiliki dua fungsi, pertama untuk ritual hajatan untuk menghibur para undangan misalnya saat ada acara sunatan atau pernikahan, kedua ialah untuk membantu pengobatan keluarga yang sakit. Kedua disebut lisung mapag pare reuneuh beukah yaitu menumbu padi sebagai tanda akan dimulainya panen raya dan untuk ritual dalam proses pengobatan padi. Ketiga disebut lisung nganyaran, sebagai tanda padi yang dipanen sudah bisa dikonsumsi. Yang terakhir adalah lisung seren taun, menumbuk padi di lisung ini sebagai tanda syukur atas hasil panen. Keseluruhan dari ritual lisung ini dimainkan dengan diiringi lagu-lagu Sunda pada waktu menjelang sore hari.
Di acara pembukaan tersebut, tampak 36 perempuan mengenakan pakaian adat Kasepuhan secara serempak memainkan halu untuk menumbuk lisung untuk memeriahkan acara. Mereka terbagi dalam empat kelompok, masing-masing menumbul lisungnya diiringi lagu-lagu tradisional Sunda. Seorang perempuan memainkan nyiru dengan gerakan menampi padi. Penonton yang berasal dari berbagai daerah di nusantara berebutan mengabadikan peristiwa tersebut dengan kameranya.
“Kami sekabehana senang, suka bahagia kuayana ilu diacara kiyek, karena baretona can pernah boga acara ditempat seperti kiyek,” ujar salah satu anggota nutu lisung, Dedeh (49) dalam bahasa Sunda. Maksudnya adalah kami semua senang dan bahagia karena bisa ikut acara ini, karena sebelumnya belum pernah ikut acara seperti ini.
Sementara itu Project Manager Progam Peduli, Fahmi Rahman mengatakan bahwa kehadiran para perempuan Kasepuhan dalam event penting ini adalah bagian dari agenda dan strategi Program Peduli yang dilaksanan RMI untuk pilar masyarakat adat yang dipercayakan oleh Kemitraan.
Program peduli sendiri merupakan gerakan inklusi sosial dibawah kordinasi Kementerian Kemenko PMK yang bertujuan untuk menciptakan elemen masyarakat mendapatkan perlakuan yang setara dan memperoleh kesempatan yang sama sebagai warga negara, termasuk masyarakat adat.
“Dengan ditampilkannya ritual nutu lisung di event ini juga merupakan sebuah bentuk apresiasi dan serta penerimaan terhadap budaya Kasepuhan,” tegas Fahmi.
Fahmi menambahkan, selain menghadirkan para perempuan adat Kasepuhan Karang pihaknya juga menampilkan produk-produk komunitas yang berasal dari Kasepuhan dan Baduy di Stand RMI.
Produk-produk tersebut diantaranya merupakan hasil intervensi Program Peduli yang dijalankan RMI sejak dua tahun terakhir di komunitas adat Baduy dan Kasepuhan yang berada di Kabupaten Lebak, Banten. Melalui Program Peduli RMI berusaha mendorong perempuan dan anak muda mengorganisir diri serta mengembangkan produk hasil hutan guna meningkatkan kesejahteraan sekaligus mempromosikan budaya dan kearifan masyarakat adat Kasepuhan dan Baduy ke publik.
***
Penulis:
Novytya A (Staf Pegelolaan Pengetahuan RMI)