Pada awal tercetusnya REPLING (Rute Pendidikan Lingkungan) diadakan sebagai pengisi kekosongan metode edukasi di wilayah yang memiliki nilai edukasi tinggi yakni kebun raya bogor. Pada umumnya, masyarakat menjadikan kebun raya sebagai tempat untuk melakukan penelitian ilmiah atau sebagai tempat untuk bersantai dan berpiknik bersama keluarga. Tetapi diantaranya ada ruang kosong antara keseriusan dan kesantaian yang kebanyakan diisi oleh kaum remaja dan anak – anak. Mbak Mia, Mbak Lat yang juga pendiri RMI beserta Mas Ruwi dan kawan – kawan menciptakan suatu metode/kegiatan pendidikan yang menyenangkan dan santai yang disebut dengan REPLING!
REPLING sendiri ingin bermakna sebagai wadah, media atau kegiatan pemuda dan anak – anak untuk dapat menginterpretasi apa yang dilihat (diamati) dan didengar, dan memancing diskusi agar memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang alam dan ruang sekitarnya. Dengan pertanyaan sederhana misalnya “ Mengapa ya jika dibawah pohon udaranya menjadi lebih sejuk dan dingin?”, “Mengapa ya bunga raflesia memiliki bau menyengat seperti bangkai?” atau saat di sesi “Mendengar suara alam”, menutup mata dan mendengarkan suara alam.
Bulan ini REPLING kembali diadakan, tepatnya pada 07 Juli lalu yang diikuti oleh 48 peserta dengan rentang usia 6 – 12 tahun. Sebagai fasilitator utama RMI melibatkan 8 orang mahasiswa (relawan4life) yang sebelumnya pernah menjadi peserta REPLING dan mengikuti pelatihan fasilitator REPLING. Awalnya para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan rentang usia, misalnya dari yang berusia 6 – 8 tahun dan 9 sampai 12 tahun. Setiap kelompok akan didampingi seorang kakak fasilitator.
Meilinda Amin, salah satu fasilitator repling mengatakan bahwa melalui repling banyak hal yang dapat kita pelajari dengan cara menyenangkan, salah satunya melalui permainan “Tupai Pohon”, anak—anak berperan menjadi “tupai” dan “pohon”. Saat ada teriakan “pemburu” maka “tupai” harus berlari mencari pohon lain, saat ada seorang “penebang” maka sang “pohon” yang harus berlari dan berdiri diatas “tupai” lain, ada juga “banjir” yang mengharuskan “tupai” naik keatas “pohon”, sampai akhirnya terjadi “kebakaran” yang menyebabkan semua berlarian kesana kemari mencari perlindungan. Melalui permainan ini anak-anak dapat diajak untuk memahami tentang pengerusakan hutan yang banyak terjadi saat ini dan menyebabkan makhluk hidup yang tinggal didalamnya mendapat dampak buruk dengan cara yang lebih mudah dimengerti.
Atau misalnya mengamati danau, kita dapat melihat bagaimana hubungan sesama makhluk hidup antara danau dan burung – burung yang hidup di perairan, atau keanekaragaman hayati lainnya yang terdapat di taman Meksiko seperti kaktus dan agave yang dapat hidup di daerah kering.
Utamanya, anak – anak dapat mengekplorasi lebih banyak ‘hutan mini di tengah kota’ dengan seru dan menyenangkan. Sepanjang perjalanan anak-anak diajak untuk bermain di tiap pos yang sudah disediakan, dalam pos tersebut terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan. Salah satunya saat mengunjungi Museum Zoologi, selain melihat berbagai jenis satwa yang ada peserta juga diberi tantangan untuk menemukan satwa yang terdapat pada ‘kartu’ dan untuk kelompok yang berhasil menemukan semua satwa yang diminta akan mendapatkan ‘golden ticket’. Bukan hanya dapat memotivasi anak – anak untuk bekerjasama dan membuat strategi tetapi juga melatih kemampuan interaksi sosialnya.
(Penulis; RA)