Sindanglaya – Kasepuhan adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan pola perilaku sosio budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya sunda pada abad ke 18. Para leluhur (karuhun) mereka yang membentuk komunitas kasepuhan adalah para pemimpin laskar Kerajaan Padjadjaran yang mundur ke daerah selatan karena kerajaan mereka berhasil dikuasai oleh Kesultanan Banten pada abad ke 16.
Pola hidup masyarakat Kasepuhan terkerangka dalam serangkaian upacara adat dengan segala tata caranya masing-masing. Bagi masyarakat Kasepuhan, rangkaian upacara ini merupakan tuntutan hidup yang diwariskan oleh para karuhun mereka yang harus dijalankan (RMI 2014). Salah satu kasepuhan yang masih menjalani upacara adatnya ialah Kasepuhan Pasir Eurih yang terletak di Desa Sindang Laya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak – Banten. Leluhur Kasepuhan Pasir Eurih berasal dari Bogor. Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih mengartikan Bogor sebagai “Bongol” atau “Canir” yang artinya pusat atau asal muasal.
Daur hidup Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih bersumber dari nilai-nilai tatali paranti karuhun yang diwariskan oleh karuhun (leluhur) salah satunya adalah Rukun Tujuh. Rukun Tujuh merupakan proses penanaman padi dari mulai penyemaian sampai seren taun. Adapun tujuh ritual tersebut adalah:
1. Asep leuweung: meminta izin untuk bekerja di hutan (membuka huma gebrugan).
2. Nibakkeun: meminta izin dan doa untuk memulai penanaman/menebar benih.
3. Ngubaran: ketika padi mulai besar melakukan sri sakti manusa nu kumawasa adalah ritual untuk mengobati tanaman dari hama dengan diberi obat tradisional. Hama yang biasanya datang salah satunya leming, wereng, kungkang coklat, kungkang putih dll.
4. Mapag pare beukah: ketika selesai akan dipanen sembari menunggu padi berbunga menjelang datangnya dewi sri dilakukan ritual untuk memohon agar hasil tanaman bagus. Para perempuan membuat dodol dan menumbuk padi untuk acara selamatan.
5. Beberes Mipit: jika padi sudah merunduk dan siap dipotong maka melakukan ritual meminta izin untuk memanen padi. Para perempuan membuat tumpengan untuk selamatan.
6. Ngadiukeun: padi selesai dipanen dibawa dari tempat lahan lalu memasukkannya ke dalam leuit.
7. Seren taun: ritual untuk selamatan atas hasil bumi biasanya dilakukan antara bulan syawal/hapit dan meminta kesuburan dan kemakmuran untuk panen yang akan datang.
Pada tanggal 30 Juli lalu atau 17 Djulqo’dah 1439 H (kalender islam), Kasepuhan Pasir Eurih melakukan proses terakhir dari rukun tujuh yaitu Seren taun. Istilah Serentaun berasal dari bahasa Sunda yaitu seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun.
Menurut Abah Maman, salah satu putra kasepuhan kegiatan Seren taun ini juga diibaratkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada tuhan dan sedekah tahunan atau menyerahkan hasil panen kepada yang membutuhkan, karena hasil panen tersebut akan dimakan bersama-sama.
Seren taun ditentukan oleh baris kolot (tokoh adat) kasepuhan. Akan tetapi patokan perhitugannya adalah 14 atau 17 hapit (Djulqo’dah). Pilihannya ialah Sabtu-Minggu-Senin atau Selasa-Rabu-Kamis. Dimana tanggal 14 atau 17 tersebut harus tepat dengan hari Senin atau Kamis, hari itu dipercaya sebagai hari agung karena bertepatan dengan hari lahir atau hari meninggalnya Nabi Muhammad SAW.
Masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih melakukan proses Seren taun tanpa ritual arak – arakan. Biasanya kegiatan serentaun akan diisi dengan syukuran, berdoa bersama, hiburan, dan lain-lain. Kegiatan tersebut dilakukan selama tiga hari. Pada tahun ini dimulai dari hari Sabtu, 28 Juli 2018 sampai dengan Senin, 30 Juli 2018.
Diawali dengan ziarah ke makam leluhur pada Sabtu pagi dan malamnya dilanjutkan dengan dongeng. Menurut Teh Tini (salah satu masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih) dongeng baru akan dimulai ketika kerbau yang akan dipotong sudah dibayar lunas, hal tersebut menjadi salah satu sebab kenapa mendongeng dimulainya malam.
Pembelian kerbau juga dilakukan secara bersama-sama atau patungan. Masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih memiliki buku induk, dimana nama-nama yang tercantum dalam buku induk itulah yang diminta untuk patungan, saat ini ada 110 nama yang tercatat dalam buku induk, dengan harga kerbau kurang lebih 18 jutaan, maka dari harga tersebut dibagilah ke 110 orang, jumlah tersebut yang harus dikeluarkan.
Pemotongan kerbau dimulai pada waktu subuh, hal itu dilakukan agar bisa dimasak dan selesai pada siang harinya. Pembagian daging kerbau-pun cukup adil, kerbau yang sudah disembelih dibagi tiga, baik itu dagingnya, tulangnya, serta kulitnya. Setelah dibagi tiga, satu bagian akan dimasak di Imah Gede, dan dua bagian lainnya dibagikan ke nama yang tercatat dalam buku induk.
Tidak hanya pemotongan kerbau, kegiatan Seren taun juga dimeriahkan berbagai hiburan seperti Poplod, Dangdut, Jaipong, dan Gendang Pencak. Kemudian riungan atau makan bersama yang sebelumnya hasil dari pemotongan kerbau tersebut. Menjelang sore acara dilanjutkan dengan pembacaan sejarah Syekh Abdul Qodir Jaelani di Imah gede, syukuran/doa bersama, dan acara hiburan.
Saat hari Senin Pagi adalah puncak acaranya, dimana masyarakat adat membawakan satu ekor ayam dan/atau sembako ke Imah Gede, untuk didoakan. Setelah itu dikembalikan lagi ke masyarakat untuk dimasak di rumah masing-masing, yang setelah matang dibawa lagi ke imah gede untuk dibagi-bagi kepada yang membutuhkan dan makan bersama.
Hal lain yang membedakan lagi dari kegiatan Seren taun di Kasepuhan Pasir Eurih ini adalah saatnya silaturahmi keluarga dan kerabat, jadi masyarakat yang sedang tidak ada di kampung diharuskan untuk pulang. Bahkan ketika dibandingkan dengan lebaran, acara kegiatan Seren taun lebih meriah dan ramai.
Penulis Siti Marfuah (ed:Reni Andriani)