Siaran Pers
KOALISI MASYARAKAT SIPIL PENGAWAL RUU MASYARAKAT ADAT
PEREMPUAN AMAN-JURNAL PEREMPUAN-KALYANAMITRA-DEBTWATCH INDONESIA-KEMITRAAN-LAKPESDAM-KOMNAS PEREMPUAN-AMAN-SAMDHANA INSTITUT-YLBHI-EKNAS WALHI-RIMBAWAN MUDA INDONESIA-SAWIT WATCH-MERDESA INSTITUT-KPA-PPMAN-LULUK ULIYAH-SATUNAMA-KOALISI PEREMPUAN INDONESIA-HUMA
__________________________________________________________________________________
Menjalin Benang Konstitusi Menuju Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat di Indonesia
Jakarta, 27 Agustus 2018
Amandemen UU 1945 menegaskan pengakuan negara terhadap keberadaan Masyarakat Adat, penegasan tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1), ketiga ketentuan tersebut mewajibkan negara untuk mengakui sistem pemerintahan asli, penghormatan hak asal-usul Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan pembangunan nasional dan tidak boleh diabaikan, apalagi sengaja dihapuskan oleh pemerintah Indonesia.
Namun faktanya, pengabaikan terhadap hak asal-usul Masyarakat Adat masih berlangsung sampai hari ini. Hal ini tercermin di dalam banyak undang-undang yang mengatur tentang keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat, namun, alih-alih mengakui dan melindungi hak Masyarakat Adat, kebanyakan undang-undang tersebut malah ‘merampas’ hak Masyarakat Adat. Undang-undang yang ada saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada Masyarakat Adat. Oleh karena itu, Masyarakat Adat memerlukan sebuah undang-undang khusus yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka.
Koalisi, menengarai setidaknya ada enam hak-hak Masyarakat Adat yang terus-menerus terlanggar, di mana hak-hak tersebut satu sama lain tidaklah dapat terpisahkan dan melekat, serta harus diakui untuk pencapaian kemanusiaan bagi Masyarakat Adat. Hak-hak tersebut yaitu, Hak Atas Wilayah Adat, Hak Atas Budaya Spiritual, Hak Perempuan Adat, Hak Anak dan Pemuda Adat, Hak atas Lingkungan Hidup, Hak untuk Berpartisipasi.
Salah satu hak Masyarakat Adat yang terlanggar adalah Hak Perempuan Adat, menurut Devi Anggraini, menempatkan perspektif gender di dalam RUU Masyarakat Adat menjadi tantangan besar.
“Kami dari PEREMPUAN ADAT, mengikut proses draft dari RUU Masyarakat Adat ini, kami sadar betul bahwa akan banyak masukan terkait perspektif gender yang tidak ada di dalam RUU versi DPR RI, baik di awal gagasan hingga diskusi yang telah cukup panjang di BALEG dan AMAN, jelas Devi. Padahal menurut Devi, dalam realitas di lapangan perempuan adat yang menjadi representasi nilai adat dan menjadi jembatan pengetahuan dan kunci ke generasi mendatang masih tetap representasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan keseharian mereka.
Sedangkan Muhammad Arman menekankan, Undang-undang khusus ini harus menata ulang hubungan antara Masyarat Adat dengan negara di masa depan, dengan mengutamakan prinsib-prinsib keadilan, transparasi, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, perlakuan tanpa diskriminasi dan Pro lingkungan hidup. “Dengan cara pandang demikian, Undang-undang yang akan mengakui dan melindungi Masyarakat Adat dan hak-haknya, akan menjadi Undang-undang yang akan memposisikan Masyarakat Adat sebagai Warga Negara Indonesia seutuhnya, tegas Arman.
Pembentukan Undang-undang tentang pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisional sesungguhnya merupakan mandat sekaligus menjadi utang negara yang telah lama dideklarasikan didalam Konstitusi.
Kontak Media
Eka Hindrati (Direktur Infokom AMAN) 081295343142
Devi Anggraini (Ketua Umum PEREMPUAN AMAN) 081283879244
Siti Rakhma Mary Herwati (Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI) 08122840995
Muhammad Arman (Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN) 081218791131
Khalisah Khalid (Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI) 081290400147