Normal
0
false
false
false
IN
X-NONE
X-NONE
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-language:EN-US;}
Apa yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi ? Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Maka cakupan kesehatan reproduksi meliputi: 1) Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi; 2) Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya; 3) Hak dari perempuan dan laki-laki untuk memperoleh informasi serta memperoleh aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun kultural; 4) Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.
Pada kenyataannya masih banyak warga negara Indonesia yang belum mendapatkan haknya atas kesehatan reproduksi. Seperti halnya yang terjadi di Kampung Cipecang – Desa Pasirbuncir dan Kampung Ciwaluh – Desa Watesjaya; keduanya berlokasi di Kabupaten Bogor yang juga merupakan wilayah hulu DAS Cisadane. Untuk menuju ke sana sekitar 1 – 1,5 jam menggunakan kendaraan bermotor dari pusat kota Bogor, jarak tempuh yang relatif dekat namun situasi kampungnya jauh dari kesejahteraan.
Warga Kampung Cipecang – Desa Pasirbuncir yang sebagian besar adalah petani dan buruh tani, khususnya yang perempuan jika ingin memeriksakan kandungan, menimbang ataupun imunisasi balita, harus berjalan kaki sekitar 2 km melalui jalan setapak ke kampung tetangganya (Kampung Lengkong). Hal ini dikarenakan tidak adanya Posyandu di Kampung Cipecang. Seringkali ketika sampai di Kampung Lengkong kenyataannya tidak ada bidan yang datang sehingga terpaksa pulang kembali dengan sia-sia. Kondisi ini berdampak pada anak-anak balita di Kampung Cipecang pada umumnya tidak mendapat imunisasi dan ibu hamil tidak diperiksa secara berkala. Demikian pula bagi warga Kampung Ciwaluh – Desa Watesjaya, ketika ada perempuan yang akan melahirkan dan tidak bisa ditangani oleh paraji (dukun bayi) dan harus dibawa ke rumah sakit maka perempuan yang akan melahirkan itu pun mesti digotong menggunakan kain sarung berlapis yang diikatkan pada bambu sampai menemui jalan yang bisa diakses oleh kendaraan roda empat. Sangat beresiko karena jalan setapak yang dilalui sejauh 3 km dengan kondisi jalan naik turun (tidak rata). Betapa sulitnya situasi yang mesti dihadapi oleh perempuan ketika mengalami hal tersebut.
Namun pada umumnya satu keluarga di kedua kampung tersebut memiliki empat hingga enam anak. Jadi walaupun situasinya sangat terbatas ternyata tidak menyurutkan keinginan untuk memiliki banyak anak. Selain itu usia ibu yang memiliki empat anak tersebut rata-rata relatif masih muda, karena mereka menikah pada usia muda bahkan ada yang menikah di bawah usia 16 tahun. Program KB yang diperkenalkan pada mereka oleh bidan desa, pada umumnya dimanfaatkan untuk menjarangkan waktu kehamilan bukan untuk membatasi jumlah anak. Penuturan salah satu warga di bawah ini mendukung pernyataan tersebut:
“Keputusan KB untuk di kampung ini masih banyak di laki-laki, apalagi terkait dengan agama karena masih ada yang bilang kalau pakai KB berarti menolak rejeki dari Allah karena anak adalah rejeki; kebanyakan di sini pakai KB untuk menjarangkan kehamilan bukan untuk mengurangi jumlah anak” (Ibu Iyang, 39 tahun, Kp.Ciwaluh, Ds.Watesjaya, Kec.Cigombong)
Keputusan penggunaan kontrasepsi yang didominasi oleh laki-laki padahal penggunanya perempuan, menunjukkan bahwa perempuan di kedua kampung tersebut belum memiliki kontrol terhadap kesehatan reproduksinya sendiri. Selain itu interpretasi ajaran agama yang kurang tepat juga memberikan dampak negatif terutama bagi perempuan.
Pernikahan usia muda bahkan di bawah 16 tahun, menimbulkan dampak yang membahayakan bagi perempuan karena alat reproduksinya belum matang untuk melakukan fungsinya. Pada usia di bawah 18 tahun, perkembangan otot rahim belum cukup baik sehingga jika terjadi kehamilan maka rahim (uterus) dapat robek dan mudah terjadi pendarahan bahkan kematian janin. Maka ibu hamil usia di bawah 18 tahun sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) dan kemungkinan cacat bawaan, baik fisik maupun mental.
Data BKKBN (2010) menyebutkan bahwa pernikahan usia muda (di bawah 16 tahun) di Indonesia mencapai 25% dari jumlah pernikahan dan Jawa Barat termasuk propinsi dengan angka pernikahan usia muda yang cukup tinggi (36%). Jika mengacu pada KHA (Konvensi Hak Anak/UNCRC) yang diratifikasi melalui Keppres No.36/1990 kemudian disahkan melalui UU Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, bahwa seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih berada dalam kandungan disebut dengan ‘anak’. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa pernikahan harus dilakukan atas persetujuan penuh kedua pasangan, bukan atas dasar tekanan (desakan) orang tua/wali hanya karena tidak mau dikatakan memiliki perawan tua. Sehingga dapat dikatakan bahwa pernikahan dini merupakan pelanggaran hak asasi dan dapat menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip ‘yang terbaik bagi anak’ jika mengacu pada KHA.
Beranjak dari rangkaian situasi yang terjadi di kedua kampung di atas, maka dibutuhkan akses dan pelayanan informasi baik bagi perempuan maupun laki-laki dimulai dari kalangan remaja mengenai kesehatan reproduksi. Termasuk juga akses terhadap pelayanan kesehatan mesti diperbaiki agar semua warga desa mendapat pelayanan yang baik dan tidak memberatkan dari segi biaya. Selain itu penguatan kapasitas khususnya bagi perempuan agar mereka memiliki posisi tawar dalam menentukan segala hal yang mempengaruhi tubuh dan hidupnya bahkan dapat menyuarakan pendapat atau pikirannya demi kemajuan kampungnya.
“Memang dari dulu perempuan jarang terlibat dalam rapat misalnya rapat RT, cuma bapak-bapaknya saja, dibilangnya lamun awewe ngilu rapat engke ngariweuhkeun. Kalau ada rapat di kampung ini, kami biasanya mendengar dari dapur, sambil menyiapkan minuman dan makanan untuk bapak-bapak yang sedang rapat” (Ibu Itoh R., 66 tahun, Kp.Cipecang, Ds.Pasirbuncir, Kec.Caringin)
Sehingga di masa mendatang perempuan bukan hanya berperan dalam hal teknis namun juga berperan dalam pengambilan keputusan. Pendidikan pada perempuan diyakini akan berimbas pada generasi (komunitas) sehingga diharapkan di masa mendatang muncul generasi penerus yang dapat membangun kampung (desanya). Hal penting lainnya yang dapat dilakukan bersama jejaring nasional yaitu advokasi UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pernikahan bagi perempuan diperbolehkan pada usia 16 tahun dan bagi laki-laki pada usia 19 tahun. Sehingga antara UU Perkawinan dengan UU lainnya seperti UU Perlindungan Anak terjadi sinkronisasi, tidak saling berlawanan, karena implementasinya akan berimbas negatif khususnya bagi perempuan.
By : Ratnasari
(Manajer pada Divisi Pengelolaan Pengetahuan RMI)