“Kum sadayana,
Hatur nuhun ka para karuhun”
Olot Dalim membuka acara.
Perwakilan 33 komunitas dari Kesatuan Adat Banten Kidul, berkumpul di Kasepuhan Cibadak, Desa Warung Banten, Lebak. Selama dua hari, 10-11 April, para perwakilan kasepuhan berdiskusi tentang wilayah adat sebagai bahan untuk penguatan hak-hak masyarakat adat di wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul. Hadir dalam riungan ini juga adalah organisasi-organisasi pendamping untuk pengakuan masyarakat adat Kasepuhan: Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Epistema Institute dan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN). Organisasi terakhir adalah organisasi jaringan dimana masyarakat Kasepuhan menjadi anggota di dalamnya.
“Saat ini, Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat sudah masuk di Badan Legislasi DPRD Kabupaten Lebak. Harusnya Perda dibahas di triwulan pertama, namun karena beberapa hal, pembahasannya diundur di triwulan ketiga” kata Sukanta, Ketua Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI).
Dalam sambutannya, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan, mengatakan “Riungan ini untuk merespon inisiatif dari pemerintah pusat, untuk mengembalikan hutan adat ke wilayah adat”.
Wilayah adat adalah milik leluhur, yang harus dijaga baris kolot, untuk incu putu, kata Abdon.
Sampai saat ini, masyarakat adat hanya menjadi pihak yang dikonsultasikan walaupun sudah ada 110 Peraturan Daerah yang mengatur masyarakat adat. Secara politik hukum, masyarakat adat kuat, namun secara administrasi lemah.
Mumu Muhajir, dari Epistema Institute mengatakan, Perda yang dibuat harus mengakomodir tiga hal, yaitu berdasarkan keinginan masyarakat, penyelesaian konflik horizontal, dan wilayah yang jelas.
Berbicara mengenai masyarakat adat bukan hanya mengenai budaya, pakaian, pola hidup, namun yang paling penting adalah hak. Hak dapat diperoleh saat masyarakat adat memiliki identitas yang jelas. Pemetaan wilayah adat yang sesuai dengan sejarah dan asal usul, bisa menjadi identitas yang sangat jelas. Peta adalah identitas.
“Karena yang punya pengetahuan orang lokal, maka proses pemetaan wilayah adat harus dilakukan oleh orang lokal sendiri” kata Imam Hanafi, dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.
Pada hari kedua riungan, tiap-tiap komunitas membuat sketsa wilayah adatnya masing-masing. Juga dilakukan verifikasi bagi komunitas yang sudah memiliki peta wilayah. Dari hasil verifikasi, ada sekitar 68 komunitas yang berhasil teridentifikasi, namun sebagian besar belum memiliki peta wilayah adat.
Nia Ramdhaniaty, Direktur Eksekutif RMI, dalam penutupan riungan mengatakan, bahwa perjuangan mendapatkan pengakuan adalah perjuangan bersama. Semua prosesnya harus dikawal bersama, dan tidak boleh gagal memastikan HAK masyarakat adat.
Oleh: Fahmi Rahman
(Divisi Kampanye & Advokasi RMI)