Dalam pidato pembukaan Konferensi Tenurial 2017, Presiden Joko Widodo menegaskan kembali bahwa program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) sebagai salah satu upaya pemerintah dalam pemerataan ekonomi dan keadilan sosial. Disebutkan 12,7 (dua belas koma tujuh) juta hektar area di dalam kawasan hutan negara akan diberikan hak kelolanya kepada masyarakat melalui beragam skema Perhutanan Sosial (PS), juga termasuk pengembalian control dan akses kelola masyarakat adat atas hutan adatmya. Selain itu 9 (sembilan) juta hektar akan diredistribusi melalui skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi masyarakat, termasuk komunitas/masyarakat adat yang sejak lama berjuang untuk mendapatkan kembali hak ulayatnya.
Meskipun masyarakat adat dan hukum tanah adat telah diakui sejak lahirnya UUPA No.05/1960, namun pada implementasinya justru tidak demikian. Ada beberapa penunjukan atau penetapan kawasan oleh pemerintah yang tidak memperhatikan hak ulayat masyarakat adat setempat seperti yang terjadi pada masyarakat adat Malalo Tigo Jurai – Sumatera Barat, dimana pemerintah menunjuk 500 meter dari tepi Danau Singkarak adalah wilayah hutan lindung namun pada kenyataannya wilayah tersebut merupakan wilayah kebun, persawahan dan pemukiman masyarakat. Karenanya perjuangan masyarakat adat masih akan tetap berlanjut.
Angin segar bagi upaya tersebut muncul pada tahun 2012 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa “hutan adat bukan hutan negara”. Bagi masyarakat adat, hutan bukan hanya bermakna sebagai pohon dan tegakan kayu, tetapi lebih dari itu, hutan bermakna sebagai sumber kehidupan, penguat kedaulatan pangan, jaminan masa depan, dan identitas budaya dirinya sebagai manusia adat yang juga tidak terlepas dari bagian keberagaman bangsa Indonesia.
Terkait hal tersebut, pada Desember 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengakui 8 (delapan) hutan adat pertama berdasarkan putusan MK No.35/PUU-X/2012 yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, serta 1 (satu) lokasi yang dicadangkan sebagai hutan adat. Selanjutnya pada Oktober 2017 pemerintah kembali menetapkan 9 (sembilan) lokasi yang diajukan masyarakat/komunitas adat sebagai hutan adat.
Pengakuan dan penetapan hutan adat merupakan salah satu langkah progresif pemerintah dalam upaya menegakkan konstitusi dengan mengakui hak-hak masyarakat adat terhadap hutan dan hak ulayatnya. Namun, perlu untuk diamati dengan seksama sejauhmana kebijakan ini sudah berjalan dengan efektif dan konsisten untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya. Terkait hal tersebut, Rimbawan Muda Indonesia (RMI) – bersama HuMa, QBAR Padang – Sumatera Barat, Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) – Kalimantan Barat, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah, Bantaya – Sulawesi Tengah dan AMAN Sulawesi Selatan melakukan penelitian yang didukung oleh Food And Agriculture Organization (FAO).
Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana potret perjuangan komunitas/masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan hutan adat dan bagaimana hambatan atau tantangan yang dihadapi selama proses perjuangan tersebut. Selain itu penelitian ini juga ingin mengidentifikasi bagaimana hubungan/relasi yang terbentuk diantara entitas masyarakat adat dengan tanah/hutan adatnya serta sejauh mana keterlibatan/pelibatan perempuan dan pemuda/i dalam proses perjuangan pengakuan HA atau pengelolaan HA pasca mendapatkan pengakuan hutan adat oleh pemerintah.
Penelitian ini diadakan di 7 lokasi yakni MA Malalo Tigo Jurai – Padang Sumatera Barat, MA Dayak Desa – Sekadau Kalimantan Barat, MA Kulawi – Sulawesi Tengah, MA Wana Posangke – Sulawesi Tengah, MA Kajang – Sulawesi Selatan, MA Kasepuhan Karang Lebak – Banten, dan MA Kasepuhan Pasir Eurih Lebak – Banten. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada beberapa hal yakni status penetapan hutan adat (sudah ditetapkan dan sedang dalam proses pengajuan hutan), keragaman fungsi (kawasan hutan dan non kawasan hutan/Area Penggunaan Lain) dan keragaman wilayah geografis.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan/pemerintah terkait perbaikan prosedur/proses dalam penetapan hutan adat dan melihat seberapa besar manfaat atau tindak lanjut pasca penetapan hutan adat agar peningkatan kesejahteraan dapat terwujud. Di sisi lain, penelitian ini juga menjadi media pembelajaran/pemaknaan hutan bagi masyarakat adat, dan memastikan keadilan/keterlibatan semua pihak dalam perjuangan dan pengelolaan hutan adat yang lestari dan berkeadilan.
Oleh Reni Andriani (Knowledge Management) & Mardha Tilla (Direktur RMI)