Pada Jumat-Minggu, 14-16 Desember 2018 dilaksanakan Sekolah Lapang Hutan Adat (SLHA) Seri 2 di Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak. Peserta yang terlibat aktif dalam kegiatan ini adalah pemuda, tetua dan perempuan adat Kasepuhan Pasir Eurih. Selama tiga hari; peserta diajak untuk membuat peta partisipatif, perencanaan komunitas maupun mendapatkan beragam materi.
Salah satu kegiatan SLHA Seri 2 ini berusaha menyelidiki perubahan-perubahan kondisi lingkungan dan sosial-budaya yang terjadi di Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih. Kerangka waktu pembahasan perubahan lingkungan dan sosial-budaya tersebut difokuskan pada tahun 1980, 1980-1990, 1990-2000, dan tahun 2000 hingga sekarang.
“Budaya dan nilai pertanian di Pasir Eurih telah banyak berubah. Misalnya dulu ada tradisi membajak sawah dengan kerbau dan arah bajakan harus menuju ke selatan terlebih dahulu. Rumah-rumah warga juga sekarang banyak yang menggunakan kaca, beton, tembok; tidak sesuai dengan aturan adat dulu”, tutur Kang Komeng, pemuda adat, ketika dia menjelaskan metaplan yang ditulisnya. Selain itu Ibu Sunah, perempuan adat, juga menambahkan, “Sekarang saya sering mendengar informasi dari warga sekitar kalau banyak kera turun ke kebun dan pemukiman… mungkin sumber makanannya di leweung sudah hilang.”
Supaya terjalin diskusi dan proses pembelajaran yang interaktif, fasilitator membagikan metaplan kepada setiap peserta kegiatan. Mereka diminta menuliskan perubahan-perubahan apa yang mereka ketahui pernah atau sedang terjadi di daerah Kasepuhan Pasir Eurih. Fasilitator mendampingi peserta mengingat kejadian yang memicu terjadinya perubahan dan dampaknya hingga sekarang. Setelahnya, tiap peserta mengumpulkan kertas yang telah mereka tulis untuk ditempel di kertas plano.
Pemetaan Wilayah Adat Kasepuhan Pasir Eurih
Pemetaan partisipatif dilakukan untuk mengetahui fungsi-fungsi ruang adat Kasepuhan Pasir Eurih dan mendukung rencana tindak lanjut pengorganisasian masyarakat.
Ditampilkan sebuah peta wilayah adat Pasir Eurih, ada empat bagian wilayah: zona paling atas (utara) adalah leweung tutupan/Gunung Bongkok, zona dua adalah leweung garapan, zona tiga adalah kebun masyarakat, dan zona paling bawah (zona empat) juga masuk hutan adat. Secara berkelompok, peserta kegiatan diminta mengidentifikas beberapa objek adat (hutan, mata air, sungai, pemukiman, jenis tanaman, luasan, kerusakan, prasasti, dll.) dan menandai perubahan-perubahan apa saja yang terjadi.
Pak Carik menjelaskan bahwa ada dua pembagian ruang di Kasepuhan, yaitu hutan titipan dan hutan tutupan. Hutan titipan di bagi lagi jadi titipan, garapan dan cawisan: (a) Titipan adalah sumber mata air yang tidak boleh diganggu, didalamnya ada sumber mata air untuk lahan garapan. (b) Lahan garapan itu merupakan lahan yang sudah dari dulu digarap masyarakat. (c) lahan cawisan merupakan lahan cadangan yang dipersiapkan untuk (puskesmas dan dekat SMA, kondisinya sudah digarap masyarakat sekarang ini. Harus direlakan ketika dibutuhkan).
Selain dikemukakannya informasi mengenai perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih, penting untuk menelaah alasan yang memicu timbulnya perubahan-perubahan tersebut. Fasilitator menjelaskan bahwa perubahan di hulu menyebabkan perubahan juga di hilir. Jika satu sistem ekologis terganggu, bagian lainnya akan terguncang. Bertambahnya populasi warga mendorong perluasan pemukiman penduduk. Perubahan dalam cara hidup dan pengelolaan lahan juga tidak bisa dihindari. Tapi sebagaimana disampaikan fasilitatior, telitilah apakah perubahan tersebut mengancam nilai dan tradisi Kasepuhan Pasir Eurih atau tidak. (SUP)