Bencana Longsor dan Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek dan Banten, dan Jawa Barat menjadi peringatan untuk kita semua – abainya manusia terhadap lingkungan demi memuaskan keinginan atas egonya dalam menguasai dan mengesktrasi sumber daya alam, serta penguasaan besar-besaran atas lingkungan bisa berdampak begitu besar. Bencana ini tidak hanya mengorbankan banyak jiwa, tetapi juga menyebabkan debat panjang antara satu pihak ke pihak lainnya yang saling menyalahkan satu sama lain.
Foto: RMI
Sampah yang menumpuk dan menyumbat banyak saluran aliran air menjadi tersangka utama dari hadirnya banjir kemarin di sekitaran Jabodetabek dan Banten, meskipun banyak aspek terabaikan yang lebih krusial untuk ditunjuk sebagai faktor lain yang mengakibatkan banjir, seperti; pengelolaan limbah yang tidak efektif, TPA yang masih menjadi primadona, AMDAL yang dipertanyakan keabsahannya, ketidakseimbangan rasio antara pembangunan infrastruktur dengan ruang terbuka, dan pengacuhan terhadap perubahan iklim yang meski lamban, tapi sedang terjadi dengan pasti.
Slogan membuang sampah pada tempatnya masih saja menjadi pedoman usum yang kemudian melanggengkan manusia untuk membuang sampah di tempat sampah yang kemudian hanya akan teronggok sunyi bagaikan bom waktu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, kalau mau sedikit mengorek seperti apa kondisi TPA di banyak tempat di Indonesia, kondisinya sungguh sangat memprihatinkan.
Rasanya masih sangat lekat dalam ingatan mengenai bencana longsor di TPA Leuwigajah, Bandung pada 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua kampung terpaksa dihapus dari peta karena lenyap ditelan sampah. Depok yang terendam banjir hampir seatap rumah di awal Januari tahun ini pun disebabkan oleh longsoran TPA Cipayung Depok yang digiring oleh hujan ke kali pesanggrahan hingga membuat aliran kali pesanggrahan tersumbat dan menenggelamkan rumah warga. Jika mau diurutkan, masih banyak sekali bencana yang dibawa oleh TPA.
Faktor lain soal pembangunan infrastruktur yang begitu masif beberapa tahun belakangan, hingga menimbulkan kepincangan keseimbangan dengan ruang terbuka di banyak area rasanya juga menarik untuk dicermati.
Di artikel sebelumnya yang berjudul “Hak Ruang Hidup – yang Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan” yang diangkat di laman RMI pada tanggal 11 Desember 2019, RMI sedikit membahas soal banjir dan bagaimana proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air hingga menyebabkan penurunan lahan di Jakarta sedalam 3-18 cm setiap tahunnya.
Bahwa infrastruktur berdampak besar untuk menunjang kehidupan dan penghidupan manusia dalam menjalankan kesehariannya, itu sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri, namun pembangunan infrastruktur yang dilangsungkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi maka tentunya akan menjadi senjata yang justru membungkam ruang hidup manusia akibat bencana yang ditimbulkan setelahnya.
Belum lagi jika kita menyoal permasalahan di mana bumi kita telah dieksploitasi habis-habisan demi terpuaskannya nafsu hedonisme manusia. Longsor besar-besaran juga terjadi di 17 titik di Kabupaten Bogor Barat pada awal Januari ini, hingga menyebabkan sebanyak 1,527 jiwa terpaksa tinggal dan menyambung hidup di area pengungsian. Perusahaan tambang besar telah lama menggali perut bumi di area ini untuk mengambil logam-logam alam yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, penambang-penambang liar pun juga sudah sejak lama bergerilya di sini, bersikutan dengan penambang raksasa di sana. Bisa dibayangkan, betapa kopongnya perut bumi di area tersebut. Jadi setelah kerakusan kita dalam mengambil isi perut bumi, apakah masih pantas menganggap semua bencana ini azab semata?
Terlalu banyak akar mengular yang harus diurai untuk mengentaskan permasalahan bencana banjir ini, dan bukan dalam waktu sehari dua hari, seminggu dua minggu, bahkan setahun dua tahun. Tidak guna pula saling mencaci dan mencari salah siapa.
Bertepatan dengan hari Lingkungan Hidup Indonesia yang jatuh di setiap tanggal 10 Januari setiap tahunnya, mari kita semua mengulur tangan saja dahulu untuk mengangkat mereka yang sudah terlanjur terjerembab dalam bencana, kemudian bersama-sama kita hentikan aksi yang selalu menyakiti bumi kita ini, sehingga bersama-sama pula kita dapat mencapai harmoni yang seimbang antara manusia dan alam.
Foto: RMI
Penulis: Dinda Tungga Dewi