Agenda pembangunan hari ini dibangun atas asumsi bahwa ekonomi merupakan indikator utama wellbeing. Produk Domestik Bruto (PDB) masih banyak digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan menunjukkan status/tingkat ekonomi. Hal tersebut menyebabkan pendekatan yang saat ini populer dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah ekonomi terbuka/liberalisasi di sektor sumber daya alam, di mana investasi merupakan penggerak utamanya. Inilah kunci ide di balik pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja dan beberapa RUU bermasalah dalam kurun waktu setahun terakhir.
Meskipun pendekatan ini dapat menciptakan banyak lapangan kerja formal, namun di saat bersamaan juga menimbulkan ancaman besar bagi masyarakat di pedesaan, di mana mata pencaharian mereka ada di sektor pertanian dan pekerjaan tradisional lainnya yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan lahan. Padahal, krisis ekonomi global tahun 2008 telah menunjukan bahwa ekonomi berbasis masyarakatlah yang menstabilisasi ekonomi nasional. Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun tersebut, sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang diandalkan untuk penciptaan lapangan pekerjaan.[1]
Pendekatan yang sama juga cenderung mengabaikan krisis iklim yang sedang berlangsung akibat eksploitasi alam. Bahkan, undang-undang dan peraturan saat ini lebih mengesampingkan aspek perlindungan lingkungan untuk memastikan keran investasi terbuka lebar. Oleh karena itu, ketidakadilan dalam berbagai dimensi dipastikan akan memburuk di masa mendatang.
RMI bersama Koalisi Tenure[2] melaksanakan serial diskusi terarah Pengembangan Konsep dan Instrumen Wellbeing. Kegiatan ini bertujuan untuk merancang, mencobakan, dan mempromosikan cara memahami wellbeing secara menyeluruh dan menekankan pada seluruh aspek berbeda yang saling ketergantungan; termasuk di fase awal ini adalah merepresentasikan dan mendefinisikan wellbeing itu sendiri dalam bahasa Indonesia dengan berbagai indikatornya.
Diskusi ini sudah dilakukan dua kali. Diskusi pertama diikuti oleh 19 orang, pada Selasa, 3 November dan diskusi kedua, diikuti 20 orang, pada Rabu, 11 November 2020. Kegiatan diskusi terarah ini dimoderatori oleh Wahyubinatara Fernandez (RMI), dan dengan dua narasumber ahli, yaitu Faisal Basri dan Melani Abdulkadir Sunito, dan satu peneliti pengembangan wellbeing yaitu Ruth I. Raha
Diskusi kedua bertujuan untuk menghimpun masukan dari narasumber (seluruh peserta diskusi), baik yang bersumber dari data, maupun yang memiliki pengalaman kondisi aktual dan kontekstual di masyarakat. Selain itu juga untuk menyepakati empat lokasi awal pengambilan data terkait pengukuran wellbeing di tingkat komunitas, di mana alat ukurnya saat ini sedang disusun. Empat lokasi ini diharapkan dapat mewakilkan ragam komunitas masyarakat di Indonesia.
Hasil Diskusi Pertama
Pada diskusi kedua dibuka dengan pemaparan hasil diskusi pertama oleh Ruth I. Rahayu. Pada pemaparannya ia menjelaskan hasil diskusi pertama yang membahas tentang pendefinisian wellbeing. Wellbeing adalah kesejahteraan, tetapi tidak hanya diukur dari segi ekonomi, melainkan juga pemenuhan fisik, psikologis, sosial, kerohanian, kebertubuhan (seksualitas), makmur (kecukupan ekonomi), selamat dan bahagia (hidup senang dan nyaman). Wellbeing juga dapat diartikan kondisi manusia dan alam yang dapat hidup secara baik, nyaman, dan betah.
Kemudian dilanjutkan dengan dimensi wellbeing. Ruth menjelaskan bahwa Melani Abdulkadir S. menawarkan enam dimensi wellbeing, yaitu Kesehatan Fisik dan Mental; Ekonomi dan Sumber Daya (termasuk akses terhadap pekerjaan atau sumber nafkah); Sosial dan Pembangunan Komunitas (termasuk juga cara masyarakat memperoleh pelayanan dan fasilitas sosial untuk menunjang hidupnya); Partisipasi, Demokrasi, dan Pemerintah yang Baik (bukan hanya saat pemilihan umum tetapi juga untuk membenahi pemerintah di tingkat lokal); Nilai, Budaya, Makna (termasuk cara masyarakat mengekspresikan dan melestarikan nilai-nilai maupun produk dimiliki); dan Lingkungan dan Keberlanjutan (cara masyarakat merawat lingkungan untuk menunjang keberlangsungan hidupnya sendiri).
Tanggapan Narasumber Ahli
Terkait pendefinisian wellbeing, Melani menyampaikan, bahwa menurut Wiseman dan Brasher, tahun 2008, wellbeing komunitas adalah kombinasi dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, dan politik yang diidentifikasi oleh individu-individu dan komunitasnya sebagai hal-hal yang esensial bagi mereka untuk berkembang dan mewujudkan potensinya.
Melani juga mengingatkan bahwa banyak definisi, lembaga, dan penelitian-penelitian mengenai wellbeing. Di mana pengukuran wellbeing ini dapat digunakan dalam tingkat negara, komunitas, atau individu. Ia pun menyarankan untuk mengukur wellbeing di tingkat komunitas, karena nantinya bisa melihat hubungan komunitas dengan negara, dan hubungan komunitas dengan individu-individu di dalamnya. Selain itu komunitas juga bisa berelasi dengan komunitas yang lainnya.
Diskusi dilanjutkan dengan tanggapan dari Faisal Basri. Pertama Faisal menyarankan untuk membuat semacam indeks pada pengukuran wellbeing ini, di mana di dalamnya memuat metodologi pembobotan, hal-hal yang penting dimasukkan dalam perhitungan indeks, dan sebagainya.
Kedua, terkait lokasi untuk pengambilan data, Faisal menyarankan mengambil data di komunitas yang memiliki konflik dengan pertambangan, perkebunan (khususnya sawit), pembangunan pariwisata, wilayah perkotaan (selain Jakarta), dan komunitas yang tidak memiliki konflik.
Ketiga, ia juga mengingatkan untuk memperhatikan data-data yang sudah tersedia beserta indikatornya, seperti data Survei Sosial Ekonomi yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Karena dalam data survei tersebut bisa dilihat kekhawatiran atau ketidakpastian yang dirasakan oleh masyarakat. Menurutnya ketika masyarakat merasakan kekhawatiran maka kondisi wellbeing belum tercapai.
Diskusi Peserta
Diskusi yang berlangsung pada sesi terakhir sangat menarik, semakin banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi untuk pengukuran wellbeing. Perwakilan organisasi masyarakat sipil juga memberikan pendapatnya masing-masing. Seperti Arifin Saleh dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mengusulkan untuk ada perbandingan sampel wilayah, antara wilayah yang negaranya hadir dengan wilayah yang negaranya hanya berfungsi administratif.
Wahyubinatara Fernandez (RMI) sebagai moderator juga mengingatkan bahwa kehadiran negara di suatu wilayah perlu diperhatikan, bahwa ada negara yang hadir untuk merusak wilayah tersebut atas nama “pembangunan”, dengan negara yang hadir benar-benar membangun masyarakatnya.
Selain itu Even Sembiring (WALHI) juga menanggapi terkait penentuan wilayah untuk pengambilan data pengukuran wellbeing di tingkat komunitas. Menurutnya, jika risetnya ingin memunculkan wacana baru atau narasi tandingan harus melihat komunitas yang mampu bertahan dari ancaman konflik dan bisa mencegah aktivitas korporasi. Selain itu, perlu juga wilayah yang masyarakatnya juga bisa membuktikan bahwa ekonomi ekologisnya berhasil membawa mereka pada lingkungan yang lebih baik, yang dapat menyelamatkan tanah, air, dan spesies nya, dan itu mereka anggap penting.
Semua peserta berharap penentuan lokasi atau wilayah awal pengambilan data terkait pengukuran wellbeing di tingkat komunitas ini dapat mewakili wilayah agraris, pesisir, dan perkotaan. Baik yang mengalami konflik maupun tidak, ini akan didiskusikan lebih lanjut dan diperdalam oleh tim peneliti.
Diskusi ini bisa menjadi suatu langkah besar untuk penggunaan alat ukur wellbeing. Di mana pengukurannya bisa memotret keadaan masyarakat secara lebih adil dan beradab, berprinsip demokrasi, dan bertujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Penulis: Siti Marfu’ah
[1] Bappenas, 2009, hal I-8. Ringkasan Eksekutif Buku Pegangan Tahun 2009 Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan Daerah. Penguatan Ekonomi Daerah: Langkah Menghadapi Krisis Keuangan Global. https://www.bappenas.go.id/files/4413/5027/4149/ringkasan-eksekutifhandbook-2009060509__20090518105300__0.pdf.
[2] Anggota Koalisi Tenure yang hadir dalam diskusi : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ; Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) ; HuMa-Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis ; Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ; RMI-Indonesian Institute for Forest and Environment ; Rights and Resources Initiatives (RRI) ; Sajogyo Institute ; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) ; dan Working Group for ICCAs in Indonesia (WGII)