Seorang perumus metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA) yang terkenal, Robert Chambers mengatakan bahwa “praktik pembangunan yang baik ialah menempatkan masyarakat sebagai pusat, menghargai dan menghormati pengetahuan dan kapasitas lokal, dan memastikan bahwa mereka yang paling terdampak memiliki hak bersuara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.” Merujuk formula Chambers di atas maka sudah sepatutnya menempatkan masyarakat sebagai pusat dalam pembangunan, baik di desa maupun di kota, yang memiliki hak bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengingat, bahwa mereka adalah pihak yang paling terdampak atas pembangunan tersebut. Terlebih bagi kelompok perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan di desa. Padahal perempuan memiliki pengetahuan dan kapasitasnya sendiri seperti kemampuannya dalam pengembangan ekonomi. Misalnya, kapasitas mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dan masyarakat desa.
Dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan dapat mengoptimalkan potensi ekonomi mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan komunitas, serta lebih jauh lagi bisa juga berdampak positif pada generasi berikutnya. Hal tersebut dapat memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di desa. Selain itu, pelibatan perempuan dapat membawa perspektif unik. Perspektif unik inilah yang kemudian memperkaya proses pengambilan keputusan di masyarakat desa. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih peka terhadap isu-isu yang sangat penting dalam pembangunan desa seperti isu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Dengan kapasitasnya tersebut, peran perempuan dapat memperkuat kohesi sosial dan keberlanjutan budaya lokal.
Berdasarkan data tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan di kelembagaan desa, mengutip dari Lipsus Kompas, menurut data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) pada Maret 2023, persentase keterwakilan perempuan di pemerintahan desa yaitu 38,6 persen, di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 28,45 persen, di Lembaga Kemasyarakatan Desa 55,55 persen, dan 33,69 persen di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih banyak tantangan yang harus diatasi bersama-sama.
Forum Perempuan Kasepuhan
Partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa (Meaningfull Participation) adalah kunci untuk memastikan kebijakan dan program desa yang mencerminkan kebutuhan serta aspirasi seluruh komunitas. Partisipasi ini melibatkan perempuan secara substansial, bukan hanya sebagai simbol atau token, melainkan dengan mengakui dan memperkuat peran mereka dari perencanaan hingga evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian, melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan dapat menghasilkan kemajuan yang inklusif, berkelanjutan, dan merata bagi masyarakat desa.
Bertolak dari isu itulah, maka pada tahun 2024, tepatnya bulan Juni lalu RMI mulai mengambil langkah strategis untuk meningkatkan partisipasi dan aspirasi perempuan di tingkat desa dengan menggagas terbentuknya forum khusus perempuan di dua kasepuhan yang berada di dua desa, yaitu Kasepuhan Pasir Eurih yang berada di Desa Sindanglaya dan Kasepuhan Cirompang yang berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, sebagai wadah partisipasi, menyampaikan berbagai gagasan dan aspirasi dalam konteks pembangunan desa. Pertemuan ini bertujuan untuk mendengar aspirasi kelompok-kelompok perempuan yang ada di dua desa tersebut yang selama ini suaranya sangat minim saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, dihadiri oleh 26 orang Perempuan yang mewakili Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kader Posyandu dan Kelompok Usaha Perempuan (Kelompok Canoli). Di pertemuan ini peserta diajak menggali pengalaman dan perspektif tentang kegiatannya masing-masing di lembaga, mengidentifikasi harapan dan ekspektasi masing-masing peserta agar mereka tertarik mau bergabung dengan kelompok/lembaganya, memahami dan menggali lebih dalam apa peran dan fungsi lembaga mereka masing-masing, menggambarkan lokasi melalui pembuatan sketsa kampung/desa untuk mengetahui di mana saja mereka biasa berkegiatan, mengidentifikasi dukungan dari mana saja dan berbentuk apa dukungan tersebut mereka terima, dan mengidentifikasi tantangan baik internal maupun eksternal di kelompok mereka masing-masing. Semua proses tersebut kemudian mereka presentasikan melalui perwakilan kelompok. Dari presentasi tersebut, masing-masing kelompok secara bergantian meminta kelompok lain untuk mengomentari dan bertanya terkait dengan informasi yang dipresentasikan.
Beberapa hal yang menjadi temuan menarik adalah peserta mengakui bahwa pertemuan ini merupakan pertama kali diadakan, dan dengan forum seperti ini banyak sekali informasi-informasi penting tentang gerakan perempuan di desa yang sebenarnya bisa terhubung satu sama lain untuk saling menguatkan. Menurut salah satu peserta yang hadir, pertemuan seperti ini juga penting karena selama ini peserta atau perempuan tidak pernah punya wadah untuk menyampaikan aspirasi dan gagasannya, kalaupun ada hanya sebatas formalitas. Peserta juga merasakan bahwa proses perencanaan pembangunan desa dan proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa pelibatan perempuannya sangat kurang, kalaupun ada mereka hanya hadir tanpa berani menyampaikan pendapat apalagi mempengaruhi kebijakan desa.
Setelah pertemuan di Kasepuhan Pasir Eurih, RMI melakukan pertemuan Forum Perempuan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang. Pertemuan ini dihadiri 26 orang Perempuan yang terdiri dari perwakilan RT, RW, Kelompok PKK, Kader Posyandu, pemerintah desa, dan Kelompok Usaha (Kisancang). Proses yang dilakukan sama dengan yang dilakukan di Kasepuhan Pasir Eurih, yang membedakan adalah hasil refleksi dari salah satu peserta. Salah satu peserta perempuan yang juga menjabat sebagai perangkat desa bidang Ekbang (Ekonomi dan pembangunan) menyampaikan bahwa selama ini perempuan di tingkat desa belum diprioritaskan kepentingannya, jangankan masyarakat, perangkat desa perempuan pun masih terpinggirkan kepentingannya, contohnya dapat ditemukan di kegiatan peningkatan kapasitas yang diutamakan selalu staf-staf laki-laki daripada perempuan. Ia juga menyampaikan arah dan kebijakan desa mengenai peran serta perempuan dalam musyawarah desa. Masalah penting menurutnya adalah masih besarnya rasa ketidakpercayaan diri bagi perempuan dalam mengikuti proses musyawarah atau proses pengambilan keputusan di desa menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya partisipasi perempuan di tingkat desa. Maka forum seperti ini menjadi salah satu momen penting untuk mendorong kepercayaan diri kelompok perempuan yang diharapkan ke depan dapat terlibat secara aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa salah satunya di forum Musrenbangdes.
Pertemuan forum perempuan ini merupakan rangkaian yang akan dilakukan selama beberapa waktu kedepan secara rutin yang akan didampingi oleh RMI untuk mempersiapkan terbentuknya wadah bersama para kaum perempuan dalam satu forum yang nantinya menjadi sebuah Forum Perempuan Desa yang berpartisipasi aktif dalam komunitas desa dan masyarakat. Melalui forum seperti ini nantinya diharapkan seluruh aspirasi dari kelompok-kelompok perempuan dapat didengar, dipertimbangkan, ditindaklanjuti, dan didukung oleh berbagai pihak. Melalui wadah forum perempuan inilah segala kepentingan kaum perempuan di desa dapat diperjuangkan yang mana salah satunya adalah agar bisa masuk ke dalam penyusunan anggaran operasional tahunan desa yang bertujuan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan bersama, baik untuk kaum perempuan khususnya maupun untuk kemajuan komunitas desa secara keseluruhan. Dengan demikian, agenda inklusi sosial yang salah satunya melibatkan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan desa dapat terwujud.
Penulis : Siti Marfu’ah & Umi Nadrah
Editor : Renal Rinoza