Seorang diplomat Korea Selatan dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-Moon, pernah mengatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan dimulai dan berakhir dengan pemberdayaan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan.” Merujuk pada kutipan tersebut, sudah sepatutnya pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, menjadi pusat dalam pembangunan yang berkelanjutan, baik masyarakat di desa maupun di kota, yang memiliki hak bersuara, bergerak, dan mengambil keputusan. Dengan pemberdayaan, masyarakat di komunitas akan meningkatkan kemandirian dan ketahanannya dalam menghadapi krisis, serta akan memperkuat partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sehingga, ketika masyarakat berdaya, mereka akan keluar dari ketimpangan sosial dan kualitas hidup meningkat. Lebih jauh lagi, bisa juga berdampak positif pada generasi berikutnya.
Hal inilah yang menjadi kerja utama dalam inisiatif Pemberdayaan Komunitas Melalui Rantai Pasok Rotan Terpadu atau Integrated Rattan Supply Chain (IRSC). Pemberdayaan komunitas identik dengan pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan langkah awal dalam pemberdayaan, karena membentuk struktur dan sistem yang memungkinkan masyarakat bekerja sama secara efektif. Melalui pengorganisasian, masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan, menetapkan tujuan, dan merancang strategi untuk mengatasi tantangan bersama. Tanpa pengorganisasian, pemberdayaan menjadi sulit dilakukan karena masyarakat tidak memiliki wadah untuk bertindak secara kolektif.
Untuk mewujudkan komunitas yang berdaya, khususnya berdaya dalam budaya rotan lokal. RMI bersama Tropical Forest and Land Conservation (TFLC), melaksanakan pelatihan pengorganisasian masyarakat.
Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat
Pelatihan ini dilaksanakan di Palangkaraya, dengan melibatkan staf Community Organizer (CO) TFLC, yang bertanggung jawab atas pengorganisasian masyarakat yang akan bergabung sebagai kelompok pengrajin rotan nantinya.
Difasilitasi oleh Abdi Rahmat dan Imam Hanafi, pelatihan yang dilakukan selama tiga hari ini, dimulai dengan perkenalan fasilitator, peserta dan lembaga. Setelah itu Abdi mempersilahkan Risma Umar, sebagai narasumber materi GESI, untuk menyampaikan materinya. Risma membuka materi dengan meminta peserta untuk membedakan mana yang gender dan mana yang seks pada diri Perempuan dan laki-laki. Kemudian, pemateri menyampaikan bahwa dimensi gender dan konsep interseksionalitas dalam inisiatif ini harus sangat diperhatikan. “Tujuan proyek ini harus menjamin kelayakan hidup (relasi sosial), perlindungan GESI yang mencakup inklusivitas, sensitivitas dan responsive”—kata Risma. Sebelum dilanjutkan ke materi pengorganisasian masyarakat, peserta diminta untuk berefleksi lebih dulu oleh Abdi. Menurut beberapa peserta, kepekaan seorang CO terhadap seorang penganyam itu menjadi hal yang penting, karena harus melihat inklusi sosial dari banyak aspek dan menilai indikator GESI untuk menentukan arah yang dituju. Sesi dilanjutkan oleh Imam dengan materi Pengorganisasian Masyarakat. Imam membuka sesi dengan sebuah kutipan dari Lao Tzu (Laozi), seorang filsuf Tiongkok kuno yang dikenal sebagai pendiri Taoisme, “Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari apa yang mereka punya; tetapi pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata, “Kami sendirilah yang mengerjakannya”.”Ketika seorang CO datang ke sebuah komunitas, mereka harus belajar dari masyarakat yang ada di komunitas tersebut, mulai dari suatu yang masyarakat tahu bukan membawa suatu hal yang baru, hingga masyarakat mandiri dan bisa mengorganisir diri mereka sendiri. Setelah itu Imam banyak menyampaikan tentang prinsip-prinsip Pengorganisasian Masyarakat dan Aktor Penggerak Masyarakat. Hari pertama diakhiri dengan cerita pengalaman masing-masing.
Hari kedua dimulai dengan review materi di hari pertama yang dipandu oleh Abdi. Setelah review, Abdi menekankan bahwa “Tugas CO (dalam inisiatif ini) adalah mendorong kelompok perempuan untuk menemukan saluran mereka agar bisa tampil dan membagikan pengetahuan mereka di ruang publik. Hal- hal dan pengetahuan pengorganisasian ini harus dimiliki oleh seorang CO untuk melakukan pendampingan tersebut kepada kelompok / komunitas tersebut”. Kemudian dilanjutkan dengan materi berikutnya yaitu Participatory Rural Appraisal (PRA), dipandu oleh Imam, ia mengajak peserta bermain dengan menebak kartu remi. Imam memberikan instruksi dari susunan 56 kartu Remi, yang terdiri dari empat simbol, tiga raja, dan dua warna. Kemudian Imam mengambil 1 kartu dari susunan 56 kartu tersebut, dan menyimpannya dari seluruh peserta. Lalu ia meminta tiga orang peserta menjadi relawan untuk memilih antara simbol dan warna kartu. Dan tiga orang relawan dipandu sedemikian rupa agar merujuk hasil ke sebuah kartu yang sebelumnya sudah dipilih oleh Imam. Dari permainan itu Imam menyampaikan bahwa seorang CO sebenarnya tidak pernah “netral” hanya “penggiringan opini” biasanya yang dikemas dalam bentuk strategi penyampaian, seperti permainan tersebut, Imam lebih banyak menggiring opini peserta agar tahu kartu yang telah dipilih olehnya. Setelah itu Imam menyampaikan bagaimana cara melibatkan masyarakat, apa saja prinsipnya, lalu bagaimana kegiatan pengorganisasian diinternalisasikan dengan proyek yang sedang berjalan, bagaimana teknik dan metode PRA, hingga peserta diminta untuk latihan melakukan PRA dengan teknik dan metode yang sudah disampaikan. Setelah materi PRA, materi berikutnya adalah Psikologi Pendidikan dan Teknik Fasilitasi. Indra sebagai narasumber materi ini lebih banyak menyampaikan tentang tips and trick fasilitasi, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil fasilitasi, gaya belajar, dan variasi metode fasilitasi. Sesi dilanjutkan dengan materi Pemetaan Aktor yang disampaikan oleh Abdi. Abdi sudah menyediakan template untuk peserta agar memetakan aktor dalam inisiatif IRSC ini. Setelah itu, ia membagi peserta dibagi menjadi dua kelompok dan setiap kelompok mengidentifikasi siapa saja aktor yang terlibat dalam inisiatif IRSC dan seberapa besar pengaruh mereka yang ditandai dengan skor 1-4. Setelah diskusi, kelompok presentasi, dan fasilitator memberikan tanggapan.
Dilanjutkan di hari ketiga, yang dimulai dengan materi manajemen konflik. Abdi yang memandu topik ini meminta peserta untuk mengidentifikasi sumber konflik, lalu menjelaskan tentang eskalasi konflik, bagaimana perilaku ketika menghadapi konflik. Sesi dilanjutkan dengan materi advokasi dan komunikasi. Di mana Abdi lebih banyak menjelaskan tentang tujuan, sasaran, strategi dan hasil dari advokasi dan komunikasi. Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok strategi advokasi dari inisiatif IRSC. Dengan pemaparan materi tersebut, menandakan bahwa pelatihan Pengorganisasian Masyarakat sudah selesai.
Pentingnya Pengorganisasian Masyarakat untuk Memperkuat Komunitas dalam Industri Rotan Terpadu
Pengorganisasian (dan peningkatan kapasitas) dalam inisiatif ini akan melibatkan para pengrajin rotan rumahan, hingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam industri rotan lokal, dan mampu memperoleh manfaat ekonomi dan sosial, serta terorganisasi sehingga memiliki posisi tawar yang kuat.
Menurut pelatihan di atas, indikator pengorganisasin tersebut kuat adalah Ekonomi yaitu modal, produksi dan berkurangnya ketergantungan bahan baku; Sosial yaitu perilaku hidup masyarakat, tingkat pendidikan, konflik berkurang dan akses layanan dasar meningkat; dan Budaya yaitu pelestarian nilai-nilai dan adaptasi budaya.
Pelatihan ini adalah kegiatan awal yang dilakukan sebelum staf CO TFLC turun lapangan. RMI berharap dengan adanya pelatihan ini akan memperkaya pengetahuan staf CO, sehingga masyarakat berdaya dan memperkuat identitas, kepemimpinan, dan solidaritas perempuan rural untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan alam dan budaya, sesuai misi RMI.
Penulis : Siti Marfu’ah
Sumber: