Bogor, 25 April 2018. Upaya Kemitraan Konservasi sedang dijajaki oleh petani penggarap Kampung Ciwaluh dan Lengkong, Desa Wates Jaya Kecamatan Cigombong, dan petani Kampung Cipeucang Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor, dengan pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Senin (23/4), hujan yang turun tanpa henti sejak malam hari, tidak menjadi hambatan bagi masyarakat kampung Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong pagi itu dalam mempersiapkan pertemuan yang akan membicarakan hasil pemetaan partisipatif dengan para pihak terkait, termasuk pihak TNGGP. Perempuan, laki-laki, dan kaum muda dari ketiga kampung itu tengah mempersiapkan acara pengesahan peta lahan garapan mereka, yang akan menjadi salah satu modal utama dalam upaya menginisiasi Kemitraan Konservasi dengan TNGGP. Sejak tahun 2003 ketika wilayah Perum Perhutani yang telah digarap secara tumpang sari oleh masyarakat ketiga kampung tersebut dilebur ke dalam wilayah konservasi TNGGP, masyarakat kesulitan dalam menuai hasil hutan. Walaupun penangkapan penggarap sudah tidak lagi terjadi sejak tahun 2014, bayang-bayangnya masih menjadi sumber ketakutan masyarakat dalam menggarap lahan mereka hingga saat ini, terlebih setelah beredarnya surat himbauan kepada masyarakat untuk meninggalkan lahan garapan atau menghentikan aktivitas penggarapan di wilayah taman nasional yangdikeluarkan oleh TNGGP pada Juli 2015.
Usaha masyarakat untuk memperjuangkan akses atas lahan garapan mereka telah dimulai bertahun-tahun lalu. Pemetaan partisipatif untuk mengetahui luasan kebun garapan mereka mulai dilakukan pada tahun 2015, yang kemudian dilanjutkan dan dilengkapi pada awal tahun 2018.
Pada pertemuan senin tersebut sejatinya menjadi momen pengesahan peta yang telah dihasilkan oleh masyarakat, bekerjasama dengan Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Momen ini dirasa penting untuk sekaligus melibatkan pihak-pihak yang sebelumnya tidak banyak terlibat dalam usaha masyarakat tersebut, misalnya pemerintahan desa dan pemerintahan kecamatan. Pertemuan tersebut pun awalnya direncanakan akan ditutup dengan penanaman simbolis pepohonan di sepanjang sungai Cisadane, sebagai bentuk komitmen masyarakat dalam konservasi lingkungan.
Namun, pengesahan peta dan penanaman tersebut masih belum terjadi. Justru, kegiatan ini sangat efektif sebagai wadah sosialisasi Perhutanan Sosial. Acara ini difasilitasi oleh Muayat Ali Muhshi yang merupakan Koordinator Unit Kerja TORA di Kawasan Hutan, sekretariat RAPS. Suwito, Koordinator Unit Kerja Khusus Perhutanan Sosial Luar Jawa dan Kemitraan Konservasi dari sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) menjadi salah satu narasumber yang memberikan pemaparan mengenai perkembangan kebijakan Perhutanan Sosial.
Suwito mengingatkan bahwa, “Sangat penting membangun kemitraan dan kerjasama antara masyarakat dan TNGGP alih-alih ‘kucing-kucingan’ seperti yang terjadi selama ini: satu pihak tidak tahu apa yang dilakukan pihak lainnya sampai semuanya terlambat”. Hal penting dalam pemaparan Suwito adalah mengenai ruang lingkup dari Peraturan Direktur Jenderal KSDAE tentang Kemitraan Konservasi yang akan segera ditetapkan yang meliputi tiga aspek yaitu: 1) Kemitraan Konservasi untuk Pemberdayaan Masyarakat, 2) Kemitraan Konservasi untuk Pemulihan Ekosistem, dan 3) Monitoring dan Evaluasi. Ruang lingkup Kemitraan Konservasi tersebut memperlihatkan arah sesungguhnya dari skema yaitu kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistem dan lingkungan. Menurut Suwito, sudah merupakan awal yang baik ketika masyarakat ketiga kampung yang hadir saat ini telah mau mengakui wilayah hutan yang mereka garap sebagai hutan Negara yang dikelolakan kepada TNGGP. Ia berharap, diskusi ini akan lebih lanjut membentuk kesepakatan kemitraan sehingga masing-masing pihak tahu dan menyadari hak dan kewajibannya di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Setelah dua pemaparan tersebut, acara dilanjutkan dengan tanggapan dari para pihak. Pihak TNGGP yang diwakili Wasja, Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TNGGP, menanggapi dengan menyatakan bahwa semua kerja taman nasional berlandaskan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang lebih spesifik ketimbang Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Menurutnya, “UU Kehutanan lebih mengatur mengenai hutan produksi”. Wasja juga menjelaskan mengenai perubahan paradigma konservasi di wilayah hutan yang kini telah mengakui keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, sehingga kejadian masuk-tangkap sudah tidak lagi terjadi sekarang. Ia mengakhiri dengan menyarankan pelibatan semua pihak termasuk TNGGP dalam pemetaan partisipatif sehingga terbuka komunikasi yang baik di kemudian hari. Selanjutnya, TNGGP akan terlibat melakukan ground check bersama sebelum mengesahkan bersama peta partisipatif tersebut.
“Saya mah pokokna pengen aman. Tanah ini kan tanah warisan, ti baheula,” ujar Ma’ Icah, perempuan 75 tahun, salah satu warga Ciwaluh.
Acara ditutup oleh Muayat selaku fasilitator, yang juga merupakan Ketua Dewan Pengurus RMI. Beberapa poin penting yang didapat dari acara singkat ini adalah: 1) Menjadi awal yang baik karena masyarakat telah mengakui keberadaan hutan negara yang dikelola TNGGP di wilayah garapan mereka; 2) Proses pendataan perlu didetailkan dengan data potensi dan spasial yang digabungkan: ada pohon/ tanaman apa saja di bidang mana saja; 3) Komunikasi dan duduk bersama antara kedua pihak harus mulai diintensifkan, termasuk dalam rangka mengesahkan peta garapan setelah bersama-sama melakukan ground check; dan 4) Selama proses mencapai Kemitraan Konservasi berjalan, masyarakat diperbolehkan menggarap lahan seperti biasa asalkan tidak memperluas garapan, memperjual-belikan hak garap atau lahan garapan, serta melakukan penebangan di kawasan TNGGP.
Walau terjadi banyak perubahan agenda kegiatan, pertemuan antara masyarakat dan TNGGP yang ketiga kalinya dalam 5 bulan terakhir ini telah menjadi proses yang baik dalam memperkuat kerjasama antara masyarakat dengan TNGGP. Semoga proses ini dapat dilanjutkan dengan penandatanganan kesepakatan Kemitraan Kehutanan. (Penulis ; Wahyu Binatara)
Narahubung: Wahyubinatara – 081229944643
Catatan editor:
Ciwaluh-Cipeucang-Lengkong merupakan kampung-kampung yang berada di bagian selatan Bogor, dimana wilayahnya berbatasan dengan fungsi hutan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)
Rimbawan Muda Indonesia (RMI) adalah lembaga nirlaba berlokasi di Bogor yang banyak melakukan pendampingan untuk pengakuan peran danakses masyarakat lokal dan masyarakat adat di sekitar dan di dalam wilayah hutan sejak 1992.
RAPS adalah forum yang terdiri organisasi-organisasi yang fokus dalam isureforma agraria, juga perhutanan sosial. Program ini juga terkait dengan program Pemerintah (Nawacita) yang menargetkan 12,7 juta hektar kawasan hutan dikelola oleh masyarakat dan 9 juta hektar tanah diredistribusi untuk petani tanpa tanah.