Filosofi diatas mengajarkan kita akan pentingnya “rasa hormat kepada Ibu dan Bapak, kepada Bumi dan Langit”. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki satu ritual khas terkait ungkapan rasa syukur terhadap bumi pertiwi, yup Seren taun. Hampir setiap kasepuhan mengadakan ritual tahunan yang disebut dengan seren taun termasuk Kasepuhan Cibarani.
Bagi masyarakat adat Kasepuhan Cibarani, mengadakan seren taun bukan hanya untuk meneruskan perintah leluhur/kebiasaan yang telah diwariskan turun – temurun, tetapi seren taun menjadi penanda selesainya masa tanam dan panen sekaligus ungkapan rasa syukur atas keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran atas hasil panen dan kesuburan lahan yang masih alam berikan.
Pelaksanaan seren taun dilakukan setiap setahun sekali selepas masa panen. Penetapan waktu dan tanggal pelaksanaan seren taun biasanya akan didiskusikan setelah panen kedua yang melibatkan baris kolot dan masyarakat kasepuhan. Tahun ini seren taun jatuh pada tanggal 10 Oktober 2018. Seren taun Kasepuhan Cibarani dilaksanakan di Kampung Pasir Gembong dengan pusat acara berada di Imah Gede Kasepuhan yang berlangsung selama dua hari.
Seren taun diawali dengan ziarah ketiga lokasi yang dianggap keramat oleh masyarakat Kasepuhan yakni Gunung Liman, Paniisan Astana Wangun dan makam leluhur Cibarani. Astana Wangun dipercaya sebagai tempat karomah Kai Buyut Balung Tunggal Mas Nuralim.
Hari kedua seren taun, akan dilakukan pemotongan dan pembagian daging sapi ke setiap ronda (kelompok penjaga kampung malam hari), yang kemudian dilanjutkan dengan beberes di Lembur. Beberes di Lembur merupakan acara berkumpulnya para sesepuh kasepuhan di rumah Abah Jaro, yang kemudian membaca kitab Syeh Abdul Qadir, Yasin, Sholawat dan Do’a dan diakhiri dengan makan bersama dan acara kesenian gelaran Topeng/Jaipong. Selama acara hampir semua masyarakat kasepuhan terlibat baik perempuan, pemuda, para sesepuh adat dan baris kolot.
Untuk hari terakhir dilaksanakan ritual babacan dan ritual netepkeun indung pare. Secara umum, dalam prosesi serentaun, ada dua hal terpenting yang wajib yakni ziarah dan ritual netepkeun indung pare. Keduanya sebagai syarat yang tidak boleh ditinggalkan. Ziarah merupakan wujud atau bentuk penghormatan kepada para karuhun yang lebih dulu hidup di kampung. Sedangkan ritual netepkeun indung pare merupakan bentuk/simbol syukuran dengan menitipkan benih/bibit pare/padi ke dalam Leuit yang terlebih dahulu dibacakan mantra/doa – doa oleh abah dan baris olot.
Penulis : Didhon & Abdul Waris (Editor: Reni Andriani)