RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment, bekerjasama dengan International Land Coalition dan Global Land Tool Network mengadakan pelatihan “Tata Kelola Agraria dan Sumberdaya Alam yang Berkeadilan Jender”. Kegiatan yang dilaksanakan pada 25 Februari-3 Maret 2015 ini dikhususkan bagi para community organizer perempuan. 13 peserta pelatihan berasal dari berbagai organisasi, dari berbagai daerah, diantaranya Palu, Lombok, Blitar, Jember, Pangandaran, Ciamis, Bogor, Bengkulu dan Padang.
Ratnasari, koordinator kegiatan, menjelaskan, tujuan dari pelatihan ini untuk memberikan pemahaman bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam dan tata kelola agraria yang berkeadilan jender, merupakan suatu hal yang penting karena baik perempuan maupun laki-laki berperan dan mengalami dampak dari suatu keputusan terkait pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini membuat perspektif dari perempuan maupun laki-laki perlu dimasukkan dalam tata kelola agraria dan sumberdaya alam.
Materi “Jender dan Agama”, yang disampaikan oleh Iklilah Muzayyanah, menjelaskan bagaimana agama (dalam penjelasan ini menggunakan agama islam sebagai contoh) telah menempatkan perempuan dan laki-laki dengan setara. “Dalam Islam, untuk menjadi pemimpin, syaratnya ada dua. Tanggung Jawab dan mampu. Baik perempuan atau laki-laki, saat sudah memenuhi dua syarat tersebut, bisa jadi pemimpin”, Iklilah memberikan contoh bagaimana islam menempatkan posisi yang setara antara perempuan dan laki-laki.
Naning, peserta dari Konsorsium Pembaruan Agraria koordinasi wilayah Jawa Timur mengatakan bahwa sesi ini “perlu diperpanjang agar kita benar-benar melakukan kajian tidak hanya 1-2-3 ayat, [namun] menambah kajian-kajian [ayat] yang tafsirnya itu lebih dimaknai [untuk mendukung] patriarki”.
Keterkaitan antara jender, hak asasi manusia dan politik dijelaskan oleh Shelly Adelina. Dalam paparannya, dia menjelaskan bahwa sampai saat ini sistem politik di Indonesia, termasuk partai, masih banyak melakukan ketidak-setaraan terhadap perempuan. Kualitas harus menjadi syarat utama bagi perempuan saat akan memasuki dunia politik, namun hal tersebut cenderung diabaikan saat laki-laki yang menjadi pemeran dalam panggung politik. Perempuan dan laki-laki harus setara, bukan hanya kualitas, namun juga kuantitas, ujarnya.
Dalam setiap sesi, metode pelatihan yang digunakan cukup beragam. Indra N Hatasura, fasilitator, mengajak peserta bermain “jaring laba-laba” untuk mengenal, memahami dan mengurai suatu masalah. Juga dalam memahami karakteristik diri, peserta diajak berkreasi dengan cuplikan-cuplikan yang ada di koran untuk mendeskripsikan diri mereka masing-masing. “Belajar itu harus menyenangkan, supaya kita mau melakukan” kata Indra.
Metode analisis jender, disampaikan oleh dua narasumber berbeda, dalam dua sesi. Nia Ramdhaniaty memaparkan bagaimana analisis jender ini dilakukan dalam program-program yang dilakukan RMI.
Shelly Adelina, juga menjelaskan beberapa alat yang bisa dipakai dalam melakukan analisis jender. Salah satu yang sering dipakai yaitu Harvard.
Pada dua hari terakhir, peserta pelatihan melakukan praktek lapangan di dua desa di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Di lokasi ini, sejumlah 2.000 petani sedang berjuang mendapatkan hak pengelolaan lahan ex-HGU PT. Hevea Indonesia seluas 310 hektar yang telah berakhir ijinnya pada 31 Desember 2013.
Dengan menggunakan metode analisis jender yang telah didapat pada hari-hari sebelumnya, data hasil wawancara dan focus group discussion terhadap perempuan dan laki-laki (termasuk anak perempuan dan anak laki-laki), didapatkan kesimpulan bahwa perempuan dan laki-laki di lokasi ini sama-sama memiliki akses kepada lahan dan ketenagakerjaan. Namun kontrol atau kuasa atas tanah, ketenagakerjaan, pendidikan dan aset umumnya dimiliki oleh laki-laki. Budaya dan pemahaman terhadap agama yang melanggengkan kekuasaan laki-laki atas perempuan juga terlihat sangat mengakar. Hal ini terlihat dari rasa ketidakmampuan perempuan saat ditanyakan tentang peran mereka untuk mengambil keputusan dibandingkan laki-laki. Analisis peserta menghubungkan ketidakmampuan perempuan dalam pengambilan keputusan ini dengan rendahnya tingkat pendidikan. Terbukti bahwa dari kegiatan ini, rasio putus sekolah anak laki-laki dan perempuan adalah 1:4.
Di sisi lain, fakta yang menarik adalah ditemukannya kesetaraan peran pada kelompok tani remaja antara peran laki-laki dan perempuan. Tidak seperti kelompok dewasa, anak-anak dan remaja usia 9-16 tahun yang mengorganisir diri dalam sektor pertanian ini tidak membeda-bedakan jenis kelamin dalam melakukan kegiatan dan peran serta tanggungjawab dalam aktivitas organisasi.
Hasil analisis tersebut disampaikan dalam forum diskusi bersama masyarakat untuk menjadi bahan klarifikasi, konfirmasi dan rekomendasi. Sesudah mendengarkan pemaparan dari peserta pelatihan dan diskusi, salah satu permintaan yang muncul dari kelompok masyarakat yang saat itu hadir yang umumnya laki-laki adalah diadakannya pelatihan serupa terutama kepada laki-laki.
Oleh : Mardha Tillah
(Manager Kampanye & Advokasi RMI)