Keterhubungan masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan dengan pengelolaan kekayaan alam dan pembangunan yang tidak menggambarkan keadilan, menjadi faktor ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di tengah-tengah kita. Bagaimana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam hanya dikelola oleh segelintir orang saja, hingga dinamika kebijakan yang berdampak pada krisis lingkungan yang pada akhirnya berpengaruh pada ruang hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di pedesaan merupakan komunitas yang sering mengalami peristiwa-peristiwa ketidakadilan dalam pembangunan: misalnya di banyak lokasi ditemukan kasus-kasus perampasan lahan oleh swasta dan negara. Di lokasi lain, akses dan kualitas pendidikan sangat minim. Banyaknya ketimpangan pembangunan ini perlu dibenahi dan masyarakat perlu jadi bagian dari penyelesaian masalah ini sendiri.
Berangkat dari permasalahan tersebut, RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment, Forest Watch Indonesia (FWI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan Sajogyo Institute (Sains), berinisiasi menyelenggarakan sebuah pelatihan yang bernama Sekolah Kaki Gunung (SKG).
SKG merupakan kursus singkat yang dapat menjadi ruang untuk saling bertukar informasi dan pengetahuan mengenai persoalan sosial-ekologis yang terjadi di Indonesia. Awalnya SKG direncanakan akan dilaksanakan secara luring. Namun, dengan kondisi pandemi yang masih berlanjut hingga 2021, konsep kegiatan diubah menjadi daring. Berfokus pada pelibatan generasi muda di seluruh Indonesia sebagai peserta, SKG menyadari bahwa gerakan sosial saat ini memerlukan pemikiran-pemikiran segar dan semangat juang tinggi dari generasi muda.
Berproses sejak tahun 2020, dan membuka seleksi peserta pada bulan Oktober 2021. Pengumuman secara serentak disebarkan melalui akun sosial media keempat lembaga pengusung, bersamaan dengan kesempatan untuk mengikuti program magang di salah satu (dari empat) lembaga sesuai minat peserta dan kebutuhan setiap lembaga.
Seleksi dilakukan dengan melihat kelengkapan administrasi, orisinalitas essay, dan kesesuaian tema. Setelah proses seleksi dilakukan, diumumkan bahwa calon peserta yang lolos seleksi sebanyak 43 orang, terdiri dari 13 calon peserta perempuan dan 30 calon peserta Laki-laki, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Pembelajaran yang Didapat Selama Kegiatan
Materi SKG disusun secara komprehensif, dengan menggunakan metode-metode serta penyampaian yang beragam. Hal ini dikarenakan adanya kolaborasi dari empat lembaga pengusung, yang memperkaya warna dan cara penyampaian materi. Selama kegiatan SKG berlangsung, ada sekitar 11 materi ajar yang memiliki keterkaitan antara materi satu dan lainnya. Di antaranya ada Kepemimpinan Inklusif, Pengantar Politik Ekonomi dan Politik Ekologi, Gender dan Pengelolaan SDA, Sejarah Studi Agraria di Indonesia, Struktur Agraria: Relasi penguasaan lahan dan relasi produksi, Tinjauan Kritis Kebijakan Agraria di Indonesia, Politik Kebijakan Ruang, Investigasi Kejahatan Lingkungan (Environmental Crime) dan Pendayagunaan Teknologi Terkini untuk Pemantauan Hutan, Pemetaan Partisipatif, Teknik Pemetaan Aktor, Resolusi Konflik dan Analisis Tumpang Tindih Lahan, Kampanye dan Advokasi Lingkungan.
Menjadi satu hal yang menarik selama pembelajaran berlangsung. Di mana sebelum masuk ke dalam materi inti, ada sisipan materi Kepemimpinan Inklusif ke dalam beberapa agenda belajar SKG. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman peserta dalam melihat kepemimpinan itu sendiri. Mungkin untuk sebagian orang, Kepemimpinan Inklusif menjadi satu hal yang masih jarang terdengar. Karena sering kali kita dihadapkan dengan satu persoalan, di mana kepemimpinan yang dijalankan tidak beriringan dengan kesadaran atas pentingnya relasi antar manusia.
Secara garis besar, melalui penyampaian materi tersebut, peserta diajak untuk memahami konsep-konsep kepemimpinan kontemporer. Bagaimana setiap manusia sebenarnya dapat menjadi seorang pemimpin yang dapat memperhatikan keterhubungan relasi dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam artian, seorang pemimpin dapat mengambil suatu keputusan tanpa mengabaikan kesepakatan bersama yang diambil secara partisipatif dan juga demokratis.
Melalui materi Pengantar Politik Ekonomi dan Politik Ekologi, peserta SKG diajak untuk menyelami persoalan lingkungan dari kacamata ilmu sosial. Dikarenakan isu lingkungan dahulu hanya diyakini sebagai kekhawatiran di luar ilmu sosial saja. Bagaimana persoalan lingkungan yang terjadi di negara-negara selatan adalah persoalan global yang memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan teknologi yang menjadi salah satu faktor pendorong kerusakan lingkungan.
Kritik yang disampaikan melalui Politik Ekologi menyebutkan bahwa, banyak dari penjelasan Malthusian yang menganggap kerusakan lingkungan terjadi karena faktor demografis, pada akhirnya mengabaikan peran Politik Ekonomi. Bagaimana model-model produksi mendorong persoalan lingkungan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hingga terjadi ketimpangan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Adapun materi Gender dan Pengelolaan SDA, di mana peserta SKG kembali diajak untuk merefleksikan persoalan melalui pemahaman yang lebih mendalam mengenai eksploitasi dan ketimpangan pengelolaan SDA tanpa mengabaikan konteks kesejarahan yang membentuk pemikiran manusia dalam upaya pengelolaannya. Bagaimana Tanah Air kita saat ini tengah mengalami satu persoalan yang berlapis, tidak hanya persoalan tentang pencemaran lingkungan akibat industri ekstraktif, tetapi juga termasuk persoalan antara gender dan relasi manusia di dalamnya. Dengan pemahaman yang tidak serta merta “hitam-putih”, peserta diajak untuk dapat menelusuri persoalan apa yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah yang berkonflik.
Semua materi yang disampaikan selama kegiatan SKG bertujuan sebagai bekal pengetahuan untuk memahami dan memperdalam persoalan yang tengah terjadi, dengan mengajak peserta untuk melihat satu kondisi secara luas dan kritis. Karena persoalan lingkungan yang terjadi saat ini tidak akan terpecahkan apabila generasi muda yang dirasa sebagai generasi penerus tidak memiliki keberpihakan dalam mewujudkan keadilan sosial dan lingkungan.
Tindak Lanjut Setelah Peserta SKG Diwisuda
Kegiatan SKG dilakukan selama empat bulan, dimulai pada bulan November 2021. Selama kegiatan, ada beberapa peserta yang pada akhirnya gugur dan tidak dapat melanjutkan kegiatan dikarenakan satu dan lain hal. Hingga akhir pemberian materi, sampai dengan wisuda yang dilaksanakan pada bulan Februari 2022 kemarin, menyisakan 28 peserta yang terdiri dari 10 peserta perempuan dan 18 peserta laki-laki.
Namun, tidak semua peserta SKG yang telah diwisuda dapat mengikuti kesempatan program magang. Setelah melalui proses seleksi lanjutan, 17 peserta (lima calon peserta program magang perempuan dan 12 calon peserta program magang laki-laki), yang diberikan kesempatan untuk mengikuti program magang yang dilakukan secara luring maupun daring, sesuai kebijakan setiap lembaga yang dituju.
Selama kegiatan SKG, pembelajaran tidak hanya terpaku pada transfer pengetahuan dari para fasilitator kepada peserta saja. Dalam prosesnya, pembelajaran banyak didapat dari peserta yang menceritakan kondisi dan persoalan sosial dan lingkungan yang terjadi di masing-masing daerah, sebagai gambaran atas persoalan secara kontekstual. Tak hanya itu, para peserta SKG pun melakukan aksi untuk menggalang solidaritas bagi para korban gempa di Banten pada bulan Januari 2022 silam.
Setelah kegiatan Sekolah Kaki Gunung (SKG) 2021 rampung, pembelajaran yang telah didaparkan oleh peserta dan juga fasilitator tidak serta merta terhenti setelah seremoni wisuda usai. Sebagian peserta membentuk lingkar belajar mandiri diantara mereka yang dilakukan setiap satu minggu sekali, dengan topik yang beragam.
Pengetahuan dan informasi selama kegiatan SKG, diharapkan dapat menjadi bekal kaum muda dalam memahami dan merespon persoalan sosial-ekologis yang terjadi disekitar.
Sampai bertemu lagi di Sekolah Kaki Gunung (SKG) berikutnya!
Penulis: Dinah Ridadiyanah
Editor: Siti Marfu’ah