Search

Kabar Terbaru

Jalan Panjang Perjuangan Atas Hak Pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibedug 

Pembuka 

Jalan panjang masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka sudah berlangsung selama 22 tahun lamanya. Perjuangan itu dimulai sejak tahun 2000 dan semakin meningkat pasca perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 2003. Ancaman pengusiran oleh pihak Taman Nasional dan ketidaknyamanan atau ketakutan mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya, serta tudingan bahwa masyarakat Cibedug tak berhak di wilayah yang mereka tempati dan tak mampu mengelola kawasan konservasi adalah latar belakang dari semakin menguatnya upaya perjuangan masyarakat kasepuhan dalam mempertahankan ruang hidup dan hutan mereka.  

Pengukuhan Taman Nasional dan Ancaman Pemindahan 

Jauh sebelumnya, ancaman terhadap ruang hidup masyarakat kasepuhan termasuk di dalamnya seluruh perkampungan dan lahan garapan (sawah, huma, dan kebun) diklaim oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang mengeluarkan kebijakan dengan memberikan kepercayaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten mengelola kawasan hutan produksi. Padahal masyarakat Cibedug sudah turun-temurun bermukim dan memanfaatkan lahan di situ. Namun, pihak Perhutani tak memperdulikan keberadaan masyarakat adat di Cibedug yang memiliki riwayat atas lahan dan hutan mereka. Bahkan, Perhutani menerapkan pajak inkonvensional sebesar 25% dari hasil panen masyarakat setiap tahun. Apa yang dilakukan Perhutani tentunya ini mirip seperti praktik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu.  

Di tahun 1992, kebijakan terhadap peruntukan lahan di wilayah adat masyarakat kasepuhan mengalami perubahan dari semula hutan produksi menjadi kawasan konservasi. Dengan demikian, terjadi pemindahtanganan hak kelola dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Praktis, wewengkon Cibedug termasuk salah satu wilayah yang beralih fungsi menjadi kawasan taman nasional. Penetapan kawasan taman nasional yang dilakukan pemerintah sudah barang tentu tanpa mengindahkan lahan yang selama ini dijadikan perkampungan dan lahan garapan masyarakat. Kebijakan ini dengan sendirinya berdampak pada mata pencaharian dan sumber-sumber ekonomi masyarakat. Ancaman yang paling mengkhawatirkan masyarakat Halimun secara keseluruhan, termasuk di Cibedug, muncul pada tahun 2003. Pasca ditetapkannya keputusan Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No.175/kpts-II/2003 tentang penunjukkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar.  

Keputusan penetapan ini membuat masyarakat gusar dan pada saat itu berkembang wacana tentang program Pemerintah untuk memindahkan masyarakat di dalam kawasan taman nasional ke tempat yang belum jelas. Tentunya ini membuat status keberadaan masyarakat Cibedug di wilayahnya sendiri dalam posisi terancam dan mereka bereaksi keras dengan mengeluarkan pernyataan sikap teu nanaon kami ieu dipindahkeun tapi kudu dibawa oge sagala titipan anu dititipkeun ti karuhun kami (tidak apa-apa kami dipindahkan asal harus dibawa juga segala titipan yang telah dititipkan leluhur kami) termasuk di dalamnya keberadaan situs yang penting dan tak terpisahkan dari adat masyarakat kasepuhan Cibedug. Karena, bagaimanapun, hutan dan situs adalah titipan yang dirawat oleh leluhur mereka. Lalu pertanyaan akankah musnah begitu saja?  

Hutan dan Situs Cibedug adalah Bagian dari Wewengkon Adat 

Keberadaan hutan dan situs Cibedug adalah bagian tak terpisahkan dari wewengkon masyarakat kasepuhan Cibedug. Wewengkon merupakan ruang hidup dan ruang kelola masyarakat adat kasepuhan di mana wilayah tersebut sebagai titipan leluhur atau sering disebut ‘titipan karuhun/kolot baheula’. Oleh karena itu, sebagai sebuah titipan maka keberadaan wewengkon sangat penting untuk dijaga dan dipertanggungjawabkan kepada leluhur dan anak cucu mereka. Salah satu ‘simbol titipan’ yang identik dengan kehidupan religi dan budaya masyarakat kasepuhan Cibedug adalah Situs Cibedug. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mempercayai bahwa mereka diberi amanah untuk menjaga situs keramat ini. Keberadaan situs ini menjadi pusat orientasi spasial masyarakat kasepuhan. Pada tahun 1942 masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memulai menjalankan amanah tersebut dengan berpindah dan menetap di kawasan tempat Situs Cibedug dan membuka kampung di sekitarnya. Mereka membuka sebuah kampung yang lokasinya tidak jauh dari tempat situs. Kampung yang mereka buka adalah Kampung Lebak Cibedug yang kemudian berkembang pendirian kampung berikutnya yaitu Kampung Cibeledug, Kampung Lebak Kalahang, Kampung Cinakem dan Kampung Ciara.  

Dengan demikian, keberadaan situs adalah denyut nadi bagi seluruh aktivitas kehidupan masyarakat kasepuhan sehingga keberadaannya menjadi penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ketika Taman Nasional berusaha untuk merelokasi warga dari situs dan hutannya maka hal tersebut tidak bisa terealisasi karena hubungan antara situs dan masyarakat adalah suatu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Ada sebuah aturan adat masyarakat kasepuhan yang mengungkapkan bahwa jika masyarakat dipindahkan maka situs tersebut juga harus ikut dipindahkan. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mengistilahkannya ‘dipikihkeun’. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan karena dengan demikian mereka harus melepaskan tanggungjawab karuhun mereka untuk menjaga situs tersebut. Tentunya, tindakan tersebut tidak bisa dilakukan mengingat masyarakat adat kasepuhan taat kepada ajaran adat yang mereka percayai bahwa menjaga situs adalah amanah dari leluhur mereka. 

Sementara, keberadaan hutan dan pemanfaatan lahan-lahan lainnya juga merupakan amanah dari leluhur dan sebagai satu kesatuan ruang hidup mereka. Wewengkon adat Kasepuhan Cibedug sebenarnya merupakan ekosistem tani-hutan dimana masyarakat adat kasepuhan membagi peruntukan masing-masing ruang sesuai fungsinya. Fungsi-fungsi tersebut kemudian dikembangkan sesuai kebutuhan mereka dan untuk keberlanjutan mereka hidup sampai anak cucu mereka mendatang. Dalam ajaran adat masyarakat Kasepuhan Cibedug dikenal istilah ‘gunung teu meunang di lebur leuweung teu meunang diruksak’ (gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak) adalah ajaran yang menyiratkan sistem pengelolaan sumberdaya alam berasaskan kearifan yang mengandung arti bahwa manusia adalah bagian dari sistem alam. Jika sumberdaya alam terganggu maka kehidupan manusia juga terganggu. Konsekuensi logis dari pengelolaan alam yang tidak bijak akan menyebabkan kehidupan masyarakat yang tidak baik. Dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug maka itu bermakna bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup warga kasepuhan. Selain itu, keberadaan hutan bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug penting artinya sebagai sumber utama kehidupan. Karena dari hutan lah sumber mata air itu berasal dan fungsinya untuk menyangga kehidupan.  

Upaya-upaya Mempertahankan Wewengkon Adat  

Dengan bukti-bukti historis berupa keberadaan Situs Cibedug, hutan, perkampungan, sawah, huma dan kebun sudah cukup bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug diakui eksistensi mereka sebagai masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan konservasi. Disamping itu, pengakuan eksistensi mereka sebagai masyarakat adat juga diakui oleh masyarakat kasepuhan lain seperti Kasepuhan Citorek yang letaknya bersebelahan dan masyarakat Baduy. Atas dasar bukti-bukti tersebut, masyarakat adat kasepuhan Cibedug melakukan berbagai upaya agar keberadaan mereka tetap diakui dan tidak diusir dari ruang hidup mereka yang telah diklaim sebagai wilayah taman nasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memulai dengan melakukan pemetaan wilayah mereka di akhir 2003. Masyarakat memetakan lahan pemukiman dan garapan mereka hingga keseluruhan wilayah wewengkon adat mereka termasuk hutan dan Situs Cibedug. Hasil dari pementaan ini kemudian disosialisasikan dan tiap-tiap warga di lima kampung diberi pemahaman tentang wilayah wewengkon adat mereka dan kenapa harus dipertahankan bahkan eksistensinya perlu untuk diakui negara.  

Upaya masyarakat Cibedug dalam mempertahankan wewengkon adat mereka melalui pemetaan kemudian mendapat perhatian yang sangat besar dari rekan-rekan aktivis yang turut memfasilitasi penyusunan rencana tata ruang wewengkon adat Kasepuhan Cibedug. Dalam penyusunan tata ruang wewengkon inilah mereka menginformasikan mengenai konsep dan pemahaman dalam mengelola ruang hidup mereka. Dari hasil penyusunan ini kemudian melahirkan dokumentasi sejarah masyarakat Kasepuhan Cibedug yang mencakup wewengkon adatnya, aturan adat yang mereka jalani dan taati, kelembagaan adat, data bio-fisik serta sosial dan ekonomi mereka. Dengan dokumentasi ini telah menunjukkan bahwa secara de facto eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memang ada dan tak terbantahkan. Tahapan selanjutnya setelah proses penyusunan dokumentasi tersebut, mereka lalu memperoleh tambahan informasi dan pengetahuan mengenai posisi mereka sebagai masyarakat adat di tingkat kabupaten dan nasional dalam beberapa pertemuan. Diantaranya mereka terlibat di setiap kegiatan pelatihan hukum kritis dan riungan-riungan di tingkatan warga yang mengundang atau melibatkan pihak lain. Sampai akhirnya, pada tahun 2005 masyarakat Kasepuhan Cibedug sepakat memilih memperjuangkan terwujudnya peraturan daerah di wilayahnya, di Kabupaten Lebak, sebagai solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. 

Sebelum itu, di tahun 2004 masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah menjajaki dan bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah seperti HuMA, WG Tenure, dan kalangan akademisi dari IPB. Dialog-dialog dilakukan dengan parapihak yang bertujuan untuk melihat sejauh mana mengukur kekuatan masyarakat. Bersama RMI yang sudah melakukan pendampingan di masyarakat Kasepuhan Cibedug, dialog-dialog yang melibatkan parapihak ditujukan untuk menemukan rute negosiasi dan bertahan hingga 2006. Dialog ini juga turut menyertakan pihak Taman Nasional agar mereka mendapat informasi tentang posisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam konteks wilayah wewengkon adat mereka. Selain itu, dialog-dialog juga diintensifkan dengan melibatkan masyarakat adat kasepuhan lain yang berbatasan dengan wewengkon adatnya. Dialog ini kemudian menghasilkan persetujuan atau kesepakatan batas wilayah wewengkon adat dengan perangkat adat Kasepuhan Citorek dan Baduy. Hal ini dilakukan untuk menegaskan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug.  

Menariknya, dalam memperjuangkan tujuannya masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tidak memandatkan dan bergantung pada lembaga pendamping mereka. Justru mereka sendiri yang berperan aktif dan sadar bahwa di tangan mereka sendirilah perjuangan ini bisa dilakukan. Ditengah-tengah ketidakpastian status hak penguasaan dan pengelolaan hutan adat mereka, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tetap menjaga hutan tempat mereka tinggal. Di lain pihak, ada kemauan politik dari pemerintah daerah untuk merespon persoalan yang terjadi di masyarakatnya. Pemerintah daerah kemudian menggagas peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat kasepuhan di wilayah Kabupaten Lebak. Tentunya momentum ini tak dilewatkan begitu saja oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan ini menjadi peluang untuk mencapai terwujudnya legalitas dan hak-hak masyarakat kasepuhan. Bersama dengan parapihak sebagai pendamping dan kontributor, negosiasi yang dilakukan kemudian menghasilkan kebutuhan akan produk hukum daerah berupa peraturan daerah terkait dengan pengakuan dan pengelolaan oleh masyarakat adat yang berada di TNGHS, dan terpetakannya pihak-pihak yang akan mengawal penyusunan peraturan daerah ini.  

Usaha-usaha masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat mereka dapat dikatakan lebih dari cukup. Mereka berhasil memenuhi syarat-syarat legal sebagai upaya mendapat pengakuan. Bukti-bukti ini tampak pada hasil berupa peta partisipatif dan beberapa catatan proses negosiasi dengan beberapa pihak. Bukti lainnya di lapangan menunjukkan usaha sungguh-sungguh masyarakat kasepuhan menjaga wewengkon menurut fungsinya dan menjalankan aturannya. Tentunya, usaha-usaha mereka memperjuangkan hak atas pengakuan dan hutan adat mereka perlu terus diupayakan untuk menggalang dukungan lebih luas lagi dan lebih kuat lagi agar mendorong segera terwujudnya pengukuhan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sebagai masyarakat hukum adat.  

Penutup 

Akhirnya, setelah sekian lama menunggu 22 tahun berjuang mendapatkan hak atas pengakuan, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mendapatkan Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertindak sebagai pelaksana penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara faktual dan virtual. Kegiatan faktualnya berlangsung di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan virtualnya dilaksanakan di beberapa provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang pada tanggal 22 Februari 2023. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat.  Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas.  

Atas penetapan SK Hutan Adat ini, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melakukan sosialiasi dan syukuran. Menurut Pak Sarmin selaku tokoh masyarakat menandaskan bahwa SK yang sudah diterima sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Berdasarkan SK Hutan Adat yang telah diserahkan ini, ditetapkan seluas 1.268 hektar yang dibagi atas fungsi konservasi dan produksi. Disamping itu, SK Hutan Adat ini merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya dan menjadi sejarah baru bagi masyarakat Cibedug untuk memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan berdaulat untuk tujuan kesejaheraan lahir-batin bagi masyarakat dan anak cucu mereka di wewengkon Kasepuhan Cibedug.  

Penulis : Renal Rinoza 

Editor : Renal Rinoza 

Referensi 

Andri Santosa, et.al. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara – Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. 

Murti Aria (2023). Pertemuan Kampung: Ngaji SK Penetapan Hutan Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. https://rmibogor.id/2023/04/04/pertemuan-kampung-ngaji-sk-penetapan-hutan-adat-wewengkon-kasepuhan-cibedug/, diakses 5 September 2023 

Recent News

Foto Artikel  (15)
Menguatkan Inisiatif: Langkah Lanjutan Mendorong Pendidikan Kritis Kontekstual pada Generasi Muda
WhatsApp Image 2024-10-08 at 20.21
Semiloka “Hutan adat untuk Kesejahteraan Lahir batin Masyarakat Adat”
SAMPUL DEPAN BUKU KAMPUNG KATONG
Kampung Katong
unnamed
Melanjutkan Aksi: Memperdalam Peran Generasi Muda dalam Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual
1-3
Sepuluh Tahun Jokowi Ingkar Janji kepada Masyarakat Adat
4-1
Tingkatkan Kemampuan Fasilitasi, Alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan Terlibat dalam kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang
2
Partisipasi Aktif Kaum Perempuan dalam Pembangunan Desa Melalui Forum Perempuan Kasepuhan
5
Beraksi Bersama: Generasi Muda Mengambil Peran Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual.
image
Aksi Anak dan Remaja untuk Hak Anak Atas Lingkungan di Indonesia
DSCF4752
Masyarakat Baduy dan Tantangannya: Seba Bukan Hanya Sekadar Perayaan Rutin Tahunan.
Follow by Email
YouTube
YouTube
Instagram